Sabtu, 18 Februari 2012

DPR Sahkan UU Intelijen

Rapat pengesahan yang diikuti 349 anggota DRP itu dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso. Dalam pernyataannya, Priyo mengatakan bahwa keputusan itu diambil secara bulat oleh seluruh fraksi di DPR pada rapat paripurna akhirnya memberikan persetujuan dan mendukung untuk Rancangan Undang-undang Intelijen disahkan menjadi Undang-undang hari Selasa, 11 Oktober 2011.

Wakil ketua komisi I Agus Gumiwang mengatakan bahwa terkait ancaman terhadap kepentingan dan keamanan nasional yang kini jenisnya semakin beragam. Ancaman-ancaman itu tidak lagi bersifat tradisional, tapi lebih banyak diwarnai dengan ancaman nontradisional. Hakikat ancaman telah mengalami pergeseran makna, bukan hanya meliputi ancaman internal, tapi juga meliputi ancaman luar yang bersifat simetris atau konvensional, maupun asimetris atau nonkonvensional.

Agus menjelaskan bila kedua bentuk ancaman itu tidak diantisipasi secara dini, maka dapat menimbulkan ancaman yang lebih multidimensional. Dengan demikian, identifikasi dan analisis terhadap berbagai ancaman tersebut harus dilakukan secara lebih komprehensif, sesuai dengan dinamika perkembangan dan perhitungan strategis.

“Untuk mencegah ancaman-ancaman tersebut menjadi nyata, maka negara ini membutuhkan intelijen negara yang tangguh, profesional, dan proporsional. Itu semua harus disertai penguatan kerjasama koordinasi intelijen, demi menjaga tegaknya hukum, nilai-nilai, prinsip demokrasi, dan penghormatan terhadap hak azasi manusia”ujarnya

Menurut Agus, intelijen negara juga perlu melakukan berbagai penyesuaian diri, termasuk perubahan dalam visi, misi, paradigma, azas, dan doktrin intelijen. Sebagai payung hukum dalam memberikan jaminan terhadap seluruh aktivitas intelijen, demi membentuk intelijen negara yang profesional dalam melaksanakan tugasnya.

”BIN diberikan kewenangan penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi. Penggalian informasi ini merupakan pergeseran dari kewenangan sebelumnya yang diminta BIN, yaitu pemeriksaan intensif. Jika dalam pemeriksaan intensif, seseorang ditangkap dan ditahan oleh BIN, maka dalam penggalian informasi, BIN harus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum lainnya untuk melakukan penahanan atau penangkapan.”  jelasnya.

“Materi krusial yang mendapatkan resistensi tinggi dari masyarakat adalah soal penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi secara mendalam. Soalnya, kewenangan itu terkait dengan nilai-nilai demokrasi, supremasi hukum, serta pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Namun, kewenangan ini perlu agar intelijen bisa bereaksi cepat dan akurat dalam mendapatkan informasi terkait kepentingan dan keamanan nasional.” terang Agus

Pemerintah pada awalnya meminta agar intelijen diberi wewenang agar bisa memeriksa secara intensif terhadap orang yang diduga terkait dengan terorisme, separatisme, spionase, dan sabotase, yang mengancam keselamatan dan keamanan nasional. Komisi I-membidangi pertahanan dan keamanan-DPR tak setuju dengan kewenangan ini.

Agus menjelaskan dengan penolakan itu, Badan Intelijen Negara tidak diberi wewenang untuk menahan dan menangkap orang yang merupakan ranah penegakan hukum. Walhasil, kewenangan itu digantikan dengan kewenangan penggalian informasi.

Komisi Pertahanan DPR memberikan pembatasan kewenangan terhadap Intelijen. Misalnya, kewenangan penyadapan harus memperhatikan Undang-Undang HAM, Undang-Undang Informatika dan Transaksi Elektronik. Penyadapan dilakukan dengan perintah Kepala BIN untuk jangka waktu paling lama enam bulan dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan.

“Selain itu, undang-undang ini juga mengatur soal kategori rahasia intelijen. Yaitu informasi yang membahayakan pertahanan dan keamanan negara, informasi soal harta kekayaan alam Indonesia yang masuk kategori dilindungi kerahasiaannya, informasi yang merugikan ketahanan ekonomi nasional, informasi yang merugikan kepentingan politik luar negeri dan hubungan luar negeri, informasi mengenai memorandum atau surat yang menurut sifatnya perlu dirahasiakan, informasi yang membahayakan sistem intelijen negara, informasi soal agen, akses dan sumber intelijen, informasi yang membahayakan keselamatan agen intelijen, dan informasi soal rencana atau pelaksanaan fungsi intelijen.”  ujar Agus

Agus menuturkan, rahasia intelijen ini juga diatur masa kedaluwarsanya. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa masa retensi atau kedaluwarsa rahasia negara itu selama 25 tahun. Namun dapat diperpanjang dengan persetujuan DPR. Hal krusial lainnya soal pemidanaan. Dalam undang-undang ini, setiap orang yang membocorkan, mencuri, atau membuka rahasia intelijen, dapat dikenakan pidana. Kepada anggota intelijen yang membocorkan rahasia intelijen, akan mendapatkan tambahan pidana sebesar sepertiga dari ancaman pidana maksimal.

Sumber :
http://www.dpr.go.id/id/berita/lain-lain/2011/okt/13/3220/DPR-Sahkan-UU-Intelijen-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar