Jumat, 17 Februari 2012

Intelijen dan Jurnalis Sama Saja


Ngomong-ngomong soal intelijen, waktu kecil itulah cita-cita saya. Saya benar-benar sangat terinspirasi dengan film-film bertemakan intelijen. Sampai sekarang pun saya masih senang menonton film-film bertemakan intelijen. Tak jarang, saya putar berkali-kali tanpa bosan. The A-Team dan Born Ultimatum, adalah salah satu film bertemakan intelijen masa kini yang sangat saya gemari.

Saya benar-benar kagum dengan tokoh-tokoh intelijen yang kalem dan cerdas serta penuh perencanaan. Tindakannya yang sembunyi-sembunyi dan tiba-tiba, terlihat keren di mata saya. Belum lagi, tokoh-tokoh intelijen di film-film digambarkan sebagai sosok yang susah mati dan selalu beruntung di setiap pertarungan.
Namun, kenyataannya tidak seindah itu. Peluru tetap saja tajam dan permainan intelijen, bila tak hati-hati, bisa sangat mengerikan. Kehidupannya harus selalu tersembunyi dan berpindah-pindah. Aturannya, “Bila kau tak membunuh, kaulah yang terbunuh”.
Meskipun begitu, ada satu profesi yang tujuan dan bobotnya sama dengan intelijen dan resiko terbunuhnya pun sangat kecil, yaitu jurnalis. “Ada kedekatan dan kesamaan antara media dan intelijen. Keduanya sama-sama berkutat dalam informasi,” begitu tutur sebuah berita di Pikiran Rakyat Bandung.
Walaupun sama, lanjut berita di Pikiran Rakyat Bandung, keduanya punya tujuan berbeda. Dalam intelijen, informasi disampaikan ke pimpinan dan negara serta tertutup. Sedangkan di media, informasi diungkapkan ke publik. Namun, ketika di lapangan, keduanya tetap bertukar informasi satu sama lain.
Namun, tetap saja ada banyak informasi “Berita di Balik Berita” yang jarang sekali diungkapkan ke publik. Saya memandang, inilah asyiknya jadi wartawan atau pun intelijen, sama-sama mengetahui informasi penting dan tidak semua orang bisa mengaksesnya. Sehingga, tak jarang seorang jurnalis bisa mengetahui kejadian yang akan terjadi.
Hal yang bagi saya keren, keduanya bisa merubah keadaan sebuah negara, bahkan dunia. Contoh kasusnya dengan intelijen Amerika, CIA. Dalam kurun waktu 1940 hingga 2000, sudah lebih dari 10 pemimpin negara yang dikudeta secara sembunyi-sembunyi dan digantikan dengan pemimpin yang lebih pro-Amerika oleh CIA.
Pun dengan media yang punya kekuatan merubah politik sebuah negara. Contohnya adalah kasus Watergate yang berujung mundurnya presiden Amerika Richard Nixon, digawangi oleh 2 wartawan Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein. Kasus seperti ini ada banyak, mulai dari berskala kecil, hingga berskala nasional.
Jurnalis dan intelijen, bagi saya sama saja. Sama-sama mengasyikan untuk ditekuni, dan sama-sama membahayakan bila ada yang tidak sejalan dengan pandangannya. Berminat mencoba?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar