Jumat, 17 Februari 2012

UU Intelijen Negara; Antara Terang dan Gelap

PetaPolitik.Com – Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen Negara yang telah disahkan oleh DPR Selasa (11/10) menjadi Undang-undang  terus menuai kontroversi. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai materi yang terdapat dalam UU Intelijen Negara dapat mengancam perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan sipil warga negara.  

Untuk itu ELSAM bersama-sama dengan Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri 23 LSM pegiat hukum dan HAM berencana akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Menanggapi hal itu itu Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutanto meminta masyarakat untuk tidak terlalu khawatir dengan disahkannya UU Intelijen Negara ini. Ia menambahkan bahwa materi-materi yang ada di dalam UU Intelijen Negara justru bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat. Sutanto juga menjanjikan BIN akan selalu memperhatikan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Lebih lanjut Sutanto menjelaskan bahwa dalam UU Intelijen ini memang ada penguatan fungsi intelijen, tapi tetap dalam batas rambu-rambu tertentu. Pembahasannya juga telah melewati proses yang cermat, hati-hati dan telah mengakomodasi masukan dari para pakar, akademisi, dan seluruh elemen masyarakat. Begitupun, dia mempersilakan masyarakat yang tidak puas terhadap UU ini untuk mengajukan uji materi ke MK. Hal senada juga disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin.
Kontroversi dari UU Intelijen Negara sendiri berawal pada sejumlah pasal yang dianggap bermasalah, antara lain terkait dengan status kelembagaan, kewenangan penyadapan dan penangkapan, pembentukan lembaga koordinasi intelijen negara, hingga tidak adanya pengawasan internal. Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti menyoroti setidaknya ada lima permasalahan pokok yang terkandung di dalam materi UU Intelijen Negara.

Pertama, RUU Intelijen tidak mengatur secara rinci tentang kategori rahasia intelijen yang menjadi bagian dari rahasia negara (Pasal 25 – Pasal 26 jo Pasal44 – Pasal 45). Tidak adanya kategori yang rinci tentang rahasia intelijen yang menjadi rahasia negara berpotensi untuk ditafsirkan secara luas dan sepihak oleh pihak penguasa dan mengancam kebebasan nformasi dan kebebasan pers.

Kedua, adalah istilah dan wewenang ’penggalian informasi’ dalam pasal 31 sebagai pengganti dari istilah ’pemeriksaan intensif’ dan ’pendalaman’ di draft RUU Intelijen sebelumnya. Penggunaan istilah juga bersifat karet dan multitafsir karena tidak dijelaskan secara rinci di dalam UU tersebut. Selain berbahaya wewenang ’penggalian informasi’ juga dinilai tidak perlu karena untuk menjalankan kerja deteksi dini, intelijen telah diberikan fungsi penyelidikan yang telah diatur dalam Pasal 6 ayat 2.

Ketiga, adanya pasal yang mengatur bahwa proses pengangkatan Kepala BIN harus mendapatkan pertimbangan parlemen (pasal 36) telah menempatkan jabatan kepala BIN sebagai jabatan yang politis, mengingat parlemen adalah lembaga politik. Hal ini akan membuka ruang terjadinya politisasi pengangkatan kepala BIN oleh parlemen.

Keempat, pengaturan tentang pengawasan dalam UU Intelijen Negara belum diatur secara berlapis dan rinci (Pasal 43). Pengawasan publik yang direpresentasikan oleh komisi-komisi negara seperti Komnas HAM dan Komisi Ombudsman belum diatur kewenangannya dalam pasal pengawasan ini. Ruang lingkup yang akan diawasi oleh parlemen kepada BIN juga tidak dirinci dengan jelas.

Kelima, RUU Intelijen juga belum mengatur mengenai mekanisme komplain oleh agen intelijen kepada komisi intelijen parlemen secara tertutup apabila terdapat perintah dari atasan kepada agen intelijen yang secara nyata perintah itu bertentangan dengan HAM dan melawan hukum. Pengaturan mekanisme komplain ini menjadi penting untuk meminimalisasi terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh intelijen.
Jika ditarik garis merah, berbagai reaksi negatif dan dan keberatan atas pasal-pasal dalam UU Intelijen Negara itu bermuara pada adanya keinginan agar aktivitas intelijen tidak hanya efektif, tapi juga demokratis, dalam artian bahwa aktivitas intelijen harus menjamin hak-hak sipil masyarakat dan outputnya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

Sebagaimana di negara-negara demokratis lainnya, aktivitas intelijen memang harus diberikan payung hukum, agar jelas tugas, ruang lingkup dan aturan mainnya. Terlebih lagi karena tantangan dan persoalan keamanan yang dihadapi Indonesia semakin berat dan kompleks.

Namun payung hukum itu harus didasari atas kontrol sipil yang efektif atas penyelenggara intelijen negara. Oleh karena itu aspek pengawasan menjadi syarat mutlak. Dunia intelijen adalah dunia yang bergerak di ruang gelap. Seketat dan serinci apapun definisi dan pengaturan tugas dan wewenang intelijen, tak akan ada banyak artinya tanpa disertai oleh mekanisme pengawasan yang efektif. Harus dibuat kerangka pengawasan yang lebih substantif dan berlapis-lapis dengan melibatkan lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan civil society. Hanya dengan itu kita bisa memastikan lembaga intelijen benar-benar didudukkan sebagai alat negara, dan bukan alat kekuasaan.

Mengutip pendapat Broto Wardoyo (pemerhati studi keamanan dan terorisme dari UI), Indonesia tidak boleh kembali ke masa intelijen hitam, tetapi bukan pula berarti harus menjadikan dunia intelijen sebagai sesuatu yang terang. Biarlah aktivitas intelijen tetap berada di ruang yang gelap, namun kontrol atas aktivitas intelijen harus dibuat terang-benderang. [dv]

Sumber : 
http://www.pasulukanlokagandasasmita.com/uu-intelijen-negara-antara-terang-dan-gelap/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar