Jumat, 17 Februari 2012

RESTRUKTURISASI INTELIJEN INDONESIA

Oleh: Mayor Czi Made Tirka Nur Gaduh, SIP., Banda A1 21 Dit A BAIS TNI


Latar Belakang.
 
Seiring dengan perkembangan isu global di dunia internasional, biasnya sangat terasa di Indonesia yang baru saja mengalami berbagai macam krisis, baik krisis kepercayaan maupun krisis dimensional sehingga munculah reformasi. Untuk mengamankan negara dari ancaman luar negeri maka pertahanan dan keamanan harus solid guna menjaga keutuhan wilayah NKRI. Peningkatan mutu pertahanan dan keamanan tidak dapat dilaksanakan hanya dengan tuntutan reformasi tanpa adanya kesungguhan dari pemerintah dan semua pihak yang terkait terutama Intelijen dalam usaha melakukan deteksi dini dan cegah dini. Dengan demikian adanya tuntutan masyarakat untuk mereformasi intelijen di segala bidang sendi kehidupan menyebabkan seluruh komponen intelijen baik TNI, Polri, Kejaksaan/Kehakiman, Bea Cukai/Imigrasi perlu melakukan perubahan-perubahan yang mendasar untuk memberikan jawaban kepada tuntutan reformasi tersebut dengan mencari solusi yang tepat demi keutuhan NKRI yang tidak didominasi oleh radikal maupun ekstrem lainnya.
 
Tuntutan Reformasi
 
Adanya tuntutan reformasi di seluruh lembaga pemerintahan adalah upaya untuk memperkecil usaha KKN dan buruknya birokrasi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah serta upaya meredam supremasi militer dibawah supremasi sipil. Untuk memenuhi hal tersebut tidaklah semudah membalik telapak tangan akan tetapi perlu kerja keras untuk menjawab hal tersebut. KKN yang terjadi di lembaga pemerintahan merupakan sebagian dari peran rezim penguasa orde baru dan seakan dilanjutkan oleh rezim orde reformasi. Tuntutan masyarakat tersebut harus kita jawab dengan melakukan reformasi di segala sendi kehidupan termasuk intelijen yang berdiri di Negara Indonesia khususnya BIN dan Intelijen Polri. Paradigma baru yang didengungkan oleh pemerintah harus benar-benar merupakan suri tauladan bagi masyarakat dan sehingga reformasi dilaksanakan dapat tercapai dengan baik.

Tuntutan Profesionalisme.
Negara yang kuat adalah negara yang memiliki Angkatan Bersenjata yang kuat, Angkatan Bersenjata yang kuat tidak telepas dari intelejen yang kuat dan berkualitas. Ada pepatah mengatakan bahwa untuk menghancurkan suatu negara maka hancurkanlah kekuatan intelijennya.
Untuk meningkatkan mutu dan kemampuan intelijen Indonesia perlu dirumuskan strategi intelijen yang baik dan dilakukan oleh berbagai institusi intelijen secara terpadu di segala bidang sendi kehidupan (Ipoleksosbudhankam). Dengan demikian aksi penentangan yang dilakukan oleh lapisan masyarakat sangatlah keras sehingga ada keinginan pemerintah melakukan perubahan secara drastis. Munculnya reformasi meningkatkan kegiatan radikal yang memanfaatkan peluang tersebut untuk melakukan penggembosan terhadap intelijen melalui penyusupan ke setiap elemen termasuk legislatif, yudikatif dan eksekutif guna memuluskan tujuan yang dikehendakinya. Dengan perkembangan jaman itu masyarakat menuntut intelijen yang kita miliki harus dilakukan secara profesional.
 
Perkembangan Intelijen Indonesia.
 
a. Di masa Lalu.
Perkembangan intelijen Indonesia di masa orde baru dianggap mampu melakukan deteksi dini dan cegah dini terhadap aksi radikal serta sudah terbukti dan mendapat acungan jempol di dunia internasional dalam hal penanganan anti teror. Kita ketahui bersama pembajakan Pesawat Garuda yang dilakukan oleh teroris di Bangkok dapat digagalkan oleh Intelijen dan Anti Teror Indonesia dibawah pimpinan L.B. Moerdani yang merupakan keberhasilan intelijen pada jaman orde baru. Bila disimak lebih jauh keamanan di masa Orde Baru jauh lebih kondusif bila dibandingkan dengan masa kini. Namun demikian seiring dengan perkembangan jaman reformasi intelijen yang diprakarsai oleh Jenderal (Purn) TNI L.B. Moerdani dianggap telah banyak melakukan pelanggaran HAM dalam implementasinya di lapangan sehingga diperlukan adanya perubahan. Perubahan yang dilakukan bukan berarti harus mematikan intelijen yang sudah ada akan tetapi memperbaiki sistem penegakan HAM agar dalam implementasinya ke depan menjadi lebih baik.

b. Di masa kini .
Seiring dengan perjalanan reformasi yang digulirkan pada tahun 1998, krisis kepercayaan mulai tumbuh di setiap jati diri masyarakat yang mudah untuk melakukan tindakan anarkhis. Tidak jarang hal-hal sepele menyebabkan bentrokan antar masyarakat yang menyebabkan korban dari masing-masing warga. Tuntutan terhadap pencabutan dwi fungsi ABRI serta apriori masyarakat terhadap TNI yang ingin berbuat untuk kepentingan negarapun dianggap sebagai upaya untuk membangkitkan militerisme kembali di Indonesia. Adanya reaksi yang muncul di masyarakat akibat trauma masa lalu, sehingga tidak terasa kepentingan untuk membungkam TNI adalah upaya dari pihak radikal untuk menyusupkan berbagai lini guna memenuhi keinginannya berkuasa di Indonesia. Hal tersebut dapat dideteksi dari berbagai ancaman seperti; pengeboman yang dilakukan oleh teroris mulai dari Bom Bali, Mariot, dan Kuningan menyebabkan kertidak-percayaan masyarakat terhadap intelijen dan Polri.
 
Suka tidak suka memang inilah yang terjadi, di lain pihak Anti Teror dan Badan Intelijen yang dibentuk oleh Polri dan dilatih oleh Amerika Serikat seakan tidak mampu mengatasi keadaan teroris di Indonesia. Keadaan ini perlu disikapi secara serius guna memberikan rasa aman kepada masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional yang berada di Indonesia. Kejadian yang beruntun dari tahun ke tahun harus disikapi secara arif dan bijaksana oleh seluruh komponen bangsa baik sipil maupun militer guna menyelamatkan rakyat yang luas dari pada sekelompok masyarakat yang menghancurkan harkat dan martabat bangsa di fora internasional sehingga perlu dicari solusi yang tepat untuk merumuskan kinerja intelijen.
 
c. Di masa yang akan datang.
Bila melihat kinerja intelijen yang kita miliki sekarang maka kita harus tahu ancaman negara di masa yang akan datang;
 
Restrukturisasi Intelijen Indonesia.
Apabila menengok ke negara besar seperti Amerika Serikat, dengan kejadian Sebelas September 2001, kongres bersama Presiden AS membentuk “The national Commission on Terrorist attacks Upon the United States” atau dikenal dengan “The 9/11 Commission”. Komisi ini dibentuk untuk menyelidiki proses kerja intelijen yang dianggap mengalami beberapa kendala untuk ditindaklanjuti agar terhindar dari peristiwa tersebut di masa yang akan datang serta merekomendasikan beberapa bidang kerja yang dianggap kurang optimal sehingga perlu membentuk struktur baru intelijen AS yaitu “National Inteligence Director (NID)” setingkat Kabinet. Secara formal, AS memiliki 15 komunitas Intelijen yaitu terdiri dari :

1) Department Intelligence Element (Non DoD) ;
 
a) The Central Intelligence Agency (CIA)
b) The Bureau of Intellegence and Research of the State of Department (INR)
c) The Intelligence Element of the Energy Department.
d) The Intelligence Element of the Treasury Department.
e) The Intelligence Division of the Federal Bureau of Investigations (FBI).
f) The Intelligence Element of the Homeland Security Department.
g) The Intelligence Element of The Coast Guard.
h) National Imagery Mapping Agency.
 
2) Department of Defence Element;
 
a) The Defense Intelligence Agency (DIA).
b) The National Security Agency (NSA).
c) The National Reconnais-sance Office (NRO).
d) The Intelligence Element of The Department of the Army.
e) The Intelligence Element of The Department of the Navy.
f) The Intelligence Element of The Department of the Air Force.
g) The Intelligence Ellement of The Marine Corps.
3) Sedangkan Indonesia memiliki beberapa intelijen yaitu :
a) Badan Intelijen Negara (BIN)
b) Badan Intelijen Strategis (BAIS TNI)
c) Badan Intelijen Kepolisian (BIK)
d) Intelijen Kejaksaan /Kehakiman
e) Intelijen Imigrasi/Bea cukai
 
Seiring dengan kegagalan AS dalam menghadapi serangan 11 September telah menyimpulkan bahwa para teroris telah memanfaatkan kegagalan institusional di bidang pertahanan negara. Untuk itu Komisi 11 September 2001 telah mengeluarkan beberapa rekomendasi kepada beberapa lembaga pemerintah dan departemen khususnya mengenai optimalisasi dan kerja sama antar 15 Badan Intelijen AS, temasuk merekomendasikan perombakan mendasar dalam tubuh organisasi intelijen AS dan juga mengusulkan tentang pembentukan “National Intelligence Director (NID )” setingkat kabinet. Struktur, sistem, dan mekanisme kerja badan intelijen AS masih tetap berjalan seperti semula, namun apabila rencana pembentukan “NID” disetujui, maka struktur, sistem dan mekanisme kerja Badan Intelijen AS akan berubah disesuaikan kebutuhan negara tersebut.
 
Strategi Amerika Serikat dalam menghadapi ancaman keamanan terdiri dari banyak aspek diantaranya:
· Keamanan terhadap ancaman dari segi penegakan hukum (Full Law Enforcement Threats)
· Keamanan dari segi ancaman serangan (bersenjata/tidak harus bersenjata) yang mengancam kedaulatan negara (Full War Threat / National Security threats/ War Engagement). Dengan kata lain ancaman Nasional.
· Gabungan antara kedua di atas terhadap spektrum ancaman (tidak murni law enforcement / tidak murni War engagement)

Seluruh tantangan ini mulai dijawab dengan membentuk departemen khusus yang menangani masalah keamanan negara (Department of Homeland Security) yang bersama-sama departemen lainnya melakukan kerja sama dalam satu sinergi seperti; Dephan, Kehakiman, Kejaksaan dan intelijen lainnya. Di dalam Strategi Nasional Keamanan Negara sebagai bagian dari Strategi Besar Keamanan Nasional dimana tidak satu lembaga/agency pun yang mengklaim bertanggung jawab terhadap masalah-masalah “Homeland Security” di Amerika akan tetapi merupakan tanggung jawab bersama dalam satu atap.
Dibentuknya intelijen bukanlah tidak ada maksud akan tetapi berguna untuk melakukan kontra intelijen di bidang ipoleksosbudhankam. Kita sadari bahwa sampai dengan 25 tahun yang akan datang kemungkinan perang secara terbuka/ konvensional belum ada indikasi namun demikian perang secara tertutup (intelijen) khususnya politik, ekonomi, sosial dan budaya akan menghantui dunia internasional. Tidak disadari perang nubika (Nuklir, Biologi dan Kimia) sudah mulai dibuka dengan mengggunakan senjata biologi secara tertutup melalui bahan makanan seperti; keracunan massal, perusakan lingkungan, wabah penyakit hewan yang menjalar ke manusia, perang narkoba dsb. Semuanya itu merupakan rekayasa negara lain yang menyerang negara Indonesia. Hal ini dilakukan untuk melemahkan negara Indonesia di bidang kesehatan, yang berdampak terhadap keseluruhan kepentingan terutama regenerasi dan lingkungan.
Intelijen yang kita miliki masih terlihat berjalan secara sendiri-sendiri. Bila hal ini tidak ditata dengan baik akan dapat membahayakan kelangsungan bagi berbangsa dan bernegara, sehingga intelijen perlu diatur untuk menjaga stabilitas negara dari kepentingan dalam maupun luar negeri. Intelijen yang kita miliki terlihat saling tumpang tindih antara satu dengan yang lain sehingga sangat telat untuk melakukan kontra intelijen yang berasal dari luar sedangkan intelijen kita sibuk hanya menangani kepentingan dalam negeri dan sangat mudah didikte negara asing.
Semenjak berpisahnya TNI dengan Polri maka keamanan dalam negeri diambil alih oleh Polri demikian juga dengan RUU TNI yang sampai saat tulisan ini disusun, belum diselesaikan, membuat intelijen TNI dalam hal ini BAIS TNI seolah berpangku tangan karena belum memiliki legitimasi hukum melakukan penanganan dan bantuan kepada Polri maupun BIN. Akan tetapi apabila terjadi serangan teroris masyarakat akan menyoroti masalah intelijen yang tidak mampu melakukan deteksi dini dan cegah dini, di sisi lain intelijen belum dipayungi hukum untuk melakukan tugasnya sehingga tugas yang dilakukan terkesan setengah hati dan tidak maksimal cenderung takut terlibat kasus HAM. Dengan demikian untuk penanganan yang bersifat grey area harus dikerjakan bersama-sama dengan mengutamakan kepentingan nasional dari pada kepentingan institusi.
Badan Intelijen Negara (BIN).
Badan Intelijen Negara yang kita miliki terkesan sangat mandul hal ini terjadi karena BIN tidak memiliki payung hukum yang jelas dalam melaksanakan tugasnya. Kinerja BIN tidak dapat bekerja maksimal karena harus menunggu untuk melakukan kajian yang bersifat analisis yang kemudian analisa tersebut diberikan untuk memberikan bantuan kepada Polri sehingga deteksi dan cegah dini menjadi lambat dilakukan. Personil intelijen cenderung membuka diri dalam melakukan tugasnya sehingga harapan untuk mendapatkan data dan informasi kurang maksimal. Hal ini terjadi karena minimnya anggaran yang dimiliki oleh BIN sebagai tenaga intelijen yang dituntut memiliki kemampuan tugas dengan “under cover” untuk mendapatkan informasi tentang segala hal seperti ipoleksosbudhankam.
Undang-undang RI Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pasal 26 ayat (1) menyatakan bahwa “untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen”. Lebih lanjut dinyatakan bahwa laporan intelijen yang berkaitan dan berhubungan dengan masalah-masalah keamanan nasional dapat diperoleh dari Depdagri, Deplu, Dephan, Depkeh dan HAM, Depkeu, Kepolisian RI, TNI, Kejaksaan Agung RI, BIN atau instansi lain yang terkait untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Oleh sebab itu ada korelasi yang diamanatkan UU tersebut di atas terhadap institusi lain selain Polisi maupun BIN untuk memberikan kontribusi terhadap perkembangan situasi keamanan nasional khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme oleh institusi yang membutuhkan, sehingga koordinasi antar depar-temen/institusi sangat dibutuhkan untuk memecahkan berbagai permasalahan negara berkaitan dengan ancaman yang membahayakan keamanan nasional. Akan tetapi undang-undang tersebut masih memiliki kelemahan yang mendasar sehingga institusi intelijen selain Polri dan BIN seakan memiliki batas karena tidak pernah diajak untuk kerja sama dalam penanganan keamanan khususnya tindak terorisme. Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 telah mengamanatkan untuk melakukan usaha kerja sama antar intelijen namun pelaksanaan di lapangan tidak demikian adanya. Intelijen kita terkesan berjalan sendiri-sendiri sehingga tugas yang diembannya tidak dapat bekerja secara maksimal.
Badan Intelijen Kepolisian (BIK).
Badan Intelijen Kepolisian merupakan suatu badan yang memiliki tugas untuk melakukan tugas pengumpulan data/ informasi di bidang ipoleksosbudkam serta memiliki kewenangan yudisial dalam melakukan penangkapan terhadap masyarakat yang dianggap membahayakan negara dari aksi teroris maupun aksi lainnya di dalam negeri. Seiring dengan perjalanan supremasi sipil, Polri telah melakukan upaya peningkatan kemampuan personil di bidang keamanan dalam negeri termasuk menyiapkan anti teror Detasemen 88 dalam menghadapi teroris yang melakukan teror di Indonesia. Belum beberapa bulan Detasemen 88 Polri (anti teror) dibentuk, sudah terjadi Bom Kuningan, suka tidak suka merupakan suatu tantangan yang berat bagi Polri dalam mengamankan negara dari teroris.
Masyarakat telah melakukan penilaian negatif terhadap keamanan yang terjadi di Indonesia khususnya menyangkut masalah teroris yang terjadi hampir setiap tahunnya mulai tahun 2001 secara terus menerus mulai Bom Bali, Mariot, dan Kuningan. Apapun alasannya, kejadian bom secara berulang-ulang merupakan suatu kegagalan aparat keamanan khususnya aparat Polri dan intelijen yang telah diberikan tugas mengamankan RI. Kegagalan ini disebabkan karena kurangnya koordinasi antara aparat intelijen, hal ini terjadi diduga karena perundang-undangan tentang intelijen belum ada. Disamping itu, dalam Tap MPR Nomor VI/VII memisahkan antara keamanan dan pertahanan dimana institusi Polri menangani seluruh keamanan sehingga institusi lain harus menunggu diminta Polri untuk membantu pengamanan dalam negeri. Bila melihat kejadian Bom yang berulang-ulang di Indonesia maka sebaiknya pengamanan dalam negeri yang bersifat eskalasi tinggi harus dilakukan bersama-sama dan bukan merupakan tanggung jawab salah satu institusi.
BAIS TNI (Badan Intelijen Strategis TNI ).
Perkembangan politik di Indonesia secara langsung telah mempengaruhi perkembangan dan kemajuan di segala aspek kehidupan bernegara di antaranya adalah kemajuan teknologi yang demikian pesatnya. Reformasi yang bergulir pada akhir tahun 1998 menempatkan TNI harus terpisah dengan Polri sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing yang tertuang dalam TAP MPR NO. VI/MPR/2000, sedangkan TAP MPR NO. VII/2000 yang antara lain menyebutkan bahwa peran TNI merupakan alat pertahanan negara, bertugas pokok mempertahan-kan negara, sedangkan Polri menjaga keamanan negara dan keutuhan wilayah NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Disamping itu TNI/Polri dituntut bersikap profesional dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari.
Intelijen TNI dan Kepolisian memiliki perbedaan karakter dimana intelijen kepolisian melakukan analisis setelah kejadian suatu peristiwa kemudian dikembangkan untuk mendapatkan fakta dan data, sedangkan Intelijen TNI melakukan cegah dini dan deteksi dini memperoleh informasi dari tingkat yang paling bawah sampai tingkat Mabes TNI yang dikembangkan dari analisis sebelum peristiwa itu terjadi. Munculnya reformasi, Intelijen TNI kurang diajak bekerja sama dalam mengawal negara dari bahaya teroris. Untuk kinerja intelijen TNI sudah memiliki pengalaman dalam menangani aksi teror baik skala nasional maupun internasional. Dengan demikian untuk mengawal negara ini instansi manapun tidak dapat berdiri sendiri dengan mengaku paling hebat karena pengakuan paling hebat adalah merupakan kesombongan yang berakibat fatal dan teroris akan semakin berani untuk melakukan uji coba sehingga perlu dibentuk suatu tim kesatuan yang saling mendukung demi tegak berdirinya NKRI.
 
Pemecahan Permasalahan.
Inteligen yang kuat merupakan alat penangkal bagi segala aspek kehidupan (Ipoleksosbudhankam) yang digunakan untuk kepentingan bangsa dan negara. Dalam pelaksanaannya intelijen perlu dibenahi secara cermat sehingga merupakan suatu kekuatan bagi negara. Perubahan yang akan dilakukan dengan mengedepankan tujuan NKRI bukan merupakan tujuan suatu institusi tetentu. Dimana intelijen harus mengutamakan kepentingan negara dari pada kepentingan kelompok atau penguasa, demikian juga diharapkan kapanpun dan dalam keadaan apapun tidak diintervensi asing.

Dengan demikian intelijen Indonesia harus disinergiskan antara yang satu dengan yang lainnya melalui BIN sebagai kordinator pelaksana intelijen negara yang dibuat secara integral dan komprehensif dengan melakukan adopsi dan kawin silang badan intelijen Indonesia dengan intelijen negara lainnya (Gambar-1) serta Badan intelijen Indonesia diajukan konsep seperti pada Gambar-2.

· Intelijen Analis yang terdiri dari; BIN, BIK, Bais TNI, Bea Cukai, Imigrasi, Kejaksaan, dan Kehakiman serta bertanggung jawab kepada Kepala Badan Intelijen Indonesia.
· Hasil kerja lapangan diserahkan kepada Tim analis untuk diolah kemudian diserahkan kepada Kepala BII ( Badan Intelijen Indonesia).
· Team lapangan maupun team analis dibentuk menjadi suatu team yang memiliki unsur-unsur intelijen masing-masing satuan secara integrasi.
· Tugas-tugas yang dilaksanakan adalah melakukan deteksi dini, cegah dini, terhadap ancaman negara dari seluruh aspek kehidupan Ipoleksosbud-hankam.

Kesimpulan dan Saran.
· Kesimpulan.
Intelijen akan profesional bila didukung dengan peralatan, personil, pendanaan serta memiliki payung hukum yang jelas. Fungsi intelijen dapat berjalan dengan baik apabila menghilangkan rasa egosentris institusi menjadi kesatuan yang utuh dalam mengemban misi bangsa untuk menangkal dan mencegah timbulnya kembali teroris di Indonesia. Badan-badan intelijen yang sudah ada diadakan kerja sama, baik ditinjau dari segi analis maupun dalam operasional secara bahu membahu guna kepentingan negara.
· Saran.
  • Membangun kembali intelijen yang dimiliki oleh institusi sipil maupun militer di bawah kordinator Badan Intelijen Negara yang dituangkan dalam Undang-undang Intelijen dengan nama Badan Intelijen Indonesia.
  • Melaksanakan latihan bersama (Intelijen TNI, Polri, Bea Cukai, Imigrasi, Kejaksaan, dan Kehakiman) dalam satu wadah dengan asistensi Polri sebagai penegak hukum di lapangan.
  • Dalam pelaksanaan tugasnya, setiap Team memiliki personil dari setiap lembaga intelijen dimana sebelum diterjunkan, Team tersebut mendapat pelatihan khusus secara terpadu.
  • Fungsi pembinaan intelijen selama operasi dikendalikan oleh Badan Intelijen Indonesia, sedangkan pembinaan masing-masing intelijen dilakukan oleh masing-masing satuan.
  • Intelijen yang dibentuk secara terintegrasi, harus dibatasi dengan undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran HAM dan digunakan penguasa dalam mempertahankan kekuasaannya.
  • Badan intelijen yang terintegrasi dibentuk dengan melakukan tugas secara bersama-sama dengan menghilangkan egosentris masing-masing institusi sebagai pengklaim pemegang suatu keamanan negara dengan meningkat-kan rasa patriotisme demi kepentingan negara, bukan kepentingan kelompok maupun institusi.
  • Pelaksana lapangan baik sipil maupun militer harus dibekali ketentutan hukum, pemahaman HAM dan pelatihan yang terintegrasi guna menghindari kesalahan prosedur serta keresahan masyarakat dalam setiap melaksanakan tugasnya.
  • Menurunkan komponen intelijen sampai ketingkat RT/RW dengan menggalak-kan bantuan Babinkam-tibmas dan Babinsa.
  • Pemerintah harus berani mengajukan draf rancangan undang-undang intelijen guna memenuhi keamanan masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional yang berada di Indonesia dengan tidak mengesam-pingkan HAM.

PENUTUP
Demikianlah tulisan tentang restrukturisi intelijen Indonesia yang saya buat dengan maksud untuk memberikan masukan kepada pemimpin negara. Saya menyadari tulisan ini masih jauh dari sempurna sehingga perlu adanya koreksi serta pengkajian lebih lanjut baik oleh seluruh pakar dan anak bangsa yang memiliki komitmen tetap tegaknya NKRI.
 
DAFTAR PUSTAKA
1. Buletin TNI AD edisi September 2004.
2. Lackland Air Force Base News TX
3. Majalah Yudhagama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar