Jumat, 17 Februari 2012

ANCAMAN PELANGGARAN HAM, KEBEBASAN SIPIL PADA PENERAPAN RUU INTELIJEN


Perjalanan reformasi di Indonesia yang membawa beberapa perubahan, sector yang nyaris luput dari penataan ulang adalah Intelijen Negara. Padahal berubahnya system politik Negara dari pendekatan militeristik dan otoritarian menuju Demokrasi dan penghormatan HAM sepantasnya juga merubah paradikma, peran, fungsi, dan structural Intelijen Negara. Secara umum ada tiga alasan yang mendasari mengapa RUU untuk Intelijen Negara tersebut sangat penting dalam menjamin kepastian hukum dan penerapanya di Indonesia;

Pertama; ada kebutuhan mendesak untuk mengembangkan Intelijen Negara yang professional dalam deteksi dini dan mengatasi berkembangnya ancaman terhadap keamanan nasional yang semakin konflek, Kedua; adanya tuntutan dari proses Negara Demokrasi untuk menciptakan dinas Intelijen Negara yang professional, transparan, dan akuntabel, Ketiga; keinginan untuk membentuk kedinasan Intelijen yang transparan dan akuntabel, mengharuskan adanya pengaturan yang tegas terhadap kewenangan spesifik Intelijen Negara.

Tuntutan ini mengharuskan adanya perubahan watak dinas Intelijen Negara yang selama ini tertutup, represif dan melayani rezim, kewatak yang lebih terbuka dan dapat melayani kepentingan keseluruhan warga Negara, sehingga hak dan kebebasan masyarakat sipil tidak tercederai oleh mekanisme yang mengatasnamakan keamanan Nasional, regulasi RUU Intelijen Negara ini harusnya mengatur secara tegas hakekat dan tujuan Intelijen Negara, ruanglingkup Intelijen Negara, tugas, fungsi, serta wewenang Intelijen Negara, mekanisme pengawasan, rekrutmen, organisasi dan prinsip–prinsip pengaturan kedinasan Intelijen Negara.

RUU Intelijen Negara ini kelak diharapkan mampu menciptakan keseimbangan, antara keamanan nasional disatu sisi dan jaminan Demokrasi serta perlindungan hak– hak sipil politik (HAM) disisi yang lainya; disatu pihak dinas Intelijen masih sangat diperlukan untuk mengantisipasi munculnya ancaman bagi keamanan nasional, sementara dipihak lain kerangka kerja yang Demokratis, Humanis tetap harus menjadi dasar pijakan bagi pengaturan tugas, fungsi, organisasi serta kegiatan dinas Intelijen.

Garis keseimbangan ini secara eksplesit mengisaratkan agar dalam melaksanakan kegiatannya, Intelijen tidak melakukan fungsi dan tindakan yuridiksi Gakum (penegakkan hukum), apalagi dapat melakukan tindakan-tindakan yang dapat menghilangkan nyawa warganya. Fungsi Intelijen harus ditempatkan sebagai lembaga yang memiliki fungsi dan kemampuan untuk memberikan deteksi dini terhadap ancaman nasional, tidak lebih dari itu, dan fungsi penegakkan hukum harus diserahkan kepada lembaga kepolisian dan kejaksaan.

Intelijen Negara adalah lembaga Negara yang berfungsi sebagai dinas rahasia, fungsi dan tugas utamanya adalah melakukan pengumpulan, pengolahan dan analisis terhadap data dan informasi yang terkait dengan munculnya ancaman terhadap keamanan nasional, untuk selanjutnya menjadi bahan yang direkomendasikan kepada Negara, maka dengan fungsi tersebut Intelijen adalah salah satu lembaga non yudisial (bukan penegak hukum) dan demi tegaknya HAM, Intelijen tidak bisa secara serta merta menjadi lembaga judicial yang dapat melakukan penangkapan, penahanan serta mengeksekusi warga Negara yang dicurigai mengancam keamanan nasional.
Akan tetapi harapan untuk membentuk INTELIJEN NEGARA PROFESIONAL sebagaimana yang disebutkan diatas, sepertinya jauh panggang dari pada api, bahkah akan mengalami kemunduran dan membuka celah kembalinya cara–cara militeristik seperti yang diterapkan pada masa pemerintahan orde baru, dan dapat membungkam kebebasan sipil, ancaman bagi pers, dan ancaman bagi proses demokrasi kedepan mengapa demikian?
Pada tahun ini 2011 pemerintah rezim SBY-Budiono bersama parlemen akan segera mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Intelijen Negara. Memilukan sekali melihat isi daru RUU tersebut, sepatutnya RUU ini dapat membangun ekspektasi reformasi Intelijen Negara baru bagi masyarakat Indonesia. Khususnya, jaminan hak asasi manusia (HAM) dan penegakan hukum yang notabene sebelumnya kerap terlanggar operasi intelijen.
Secara the facto bangsa kita belum mampu melupakan sejarah kelam rezim Orde Baru, di mana eksistensi intelijen ekstra kuat dan dominan dikuasai oleh Militer. Bukan rahasia umum, aparat Intelijen menangkap tanpa surat, memeriksa tanpa batas waktu, bahkan orang "hilang" tanpa kabar. Bukti yang sulit dielak, raibnya puluhan aktivis prodemokrasi menjelang runtuhnya rezim Soeharto. Mereka bukan ditangkap Polri atau TNI secara resmi. Namun, mereka tak ada yang kembali ke rumah sampai saat ini. Siapa yang melakukan? Kendati tak ada bukti dan saksi yang sahih, pastinya bukan orang awam atau organisasi kemasyarakatan yang melakukan kegiatan–kegiatan tersebut.
Dalam RUU Intelijen Negara ini harusnya mendasari beberapa prinsip-prinsip dasar HAM yang berhubungan langsung dengan kerja-kerja operasi Intelijen Negara di antaranya:

a.    Minimum Protection (perlindungan minimal)
b.    Human Dignity (martabat kemanusiaan)
c.    Universal
d.    Inalienabilty (tidak dapat dipisahkan)
e.    Equality (kesetaraan)
f.    State Responsibilty (kewajiban Negara)
g.    Non diskriminasi
h.    Liberty (kebebasan)
i.    Justice (keadilan)
j.    Interdependence (saling berkaitan)

Pada pasal 17 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik yang berbunyi “ Tidak boleh seorangpun secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah pribadinya, keluarganya, rumah atau hubungan  surat menyuratnya, atau secara tidak sah kehormatan dan nama baiknya”. Dalam hal hak privacy mengacu pada putusan Pengadilan HAM Eropa pada kasus Inggris diputuskan bahwa untuk aktifitas intelijen harus memiliki kerangka aturan pelaksanaan yang jelas, dan harus memenuhi syarat-syarat  yang ketat seperti legalitas, proporsionalitas, professional, subsidiaritas (teknis-teknis yang intrusive harus menjadi upaya yang terakhir), akuntabilitas (autorisasi sebelumnya rekam proses dan pemantauan) serta finalitas (informasi yang diperoleh harus digunakan untuk tujuan yang sebelumnya ditetapkan untuk mendapatkan informasi itu).
1.       Konsideran mengingat dalam RUU Intelijen Negara belum memuat tentang instrumen-instrumen HAM, hal ini jelas akan menjadi ancaman dan kemunduran system hukum di Indonesia karena merupakan praktek persekusi regulasi–regulasi yang telah berlaku sebelumnya; Bahwa mengacu pada konsideran mengingat yang hanya memuat UUDNRI 1945 pasal 20, pasal 21 dan pasal 28j (yang hanya mencakup pengecualian) tanpa memuat instrument internasional yang telah diratifikasi (Konvenan Ekosob/Sipol/UU 11/12 Tahun 2005) serta instrument UU HAM No.39/1999. Adalah merupakan ancaman yang mendasar secara subsantif karena konsideran ini merupakan rujukan atau referensi implementasi RUU Intelijen Negara ini.
2.       RUU ini menjadi Ancaman atas Kewenangan Penangkapan 7 x 24 Jam oleh Intelijen Negara bertentangan dengan asas dasar hukum formal pidanapasal 16 jo pasal 20 KUHAP bahwa intelijen negara bukan merupakan aparat hukum yang berwenang dalam melakukan penangkapan, penahanan (pro  justicia)  hal ini akan merusak mekanisme criminal justice system yang telah berlaku (DIM Pemerintah no.89);
3.       Asas penyelenggaraan intelijen Negara belum memuat prinsip-prinsip dasar HAM (Pasal 2) berupa non diskriminasi, keadilan, kesetaraan/persamaan hak (equality before the law), praduga tidak bersalah (persception of innocent) dan perlindungan minimal;
4.       Dalam penyelenggaraan operasi Intelijen Negara belum diatur tentang beberapa prinsip-prinsip penting lainnya dalam RUU ini diantaranya prinsip legalitas, prinsip nesesitas, proporsionalitas, preventif (erly warning)- Pasal 2;
5.       RUU Intelijen Negara belum mengatur secara khusus tentang perlindungan hak-hak dasar warga Negara khususnya Tersangka dalam operasi intelijen mencakup Derogable Rights (Pasal 27-29 UUDNRI 1945 jo UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM) dan khususnya Non Derogable Rights berupa:

a.    Hak untuk hidup;
b.    Hak untuk tidak disiksa;
c.    Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani;
d.    Hak beragama;
e.    Hak untuk tidak diperbudak;
f.    Hak untuk diakui sebagai pribadi didepan hukum;
g.    Hak untuk tidak dapat dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut

6.       Kewajiban dasar Negara dalam melakukan perlindungan hukum atas warga negaranya berupa pendampingan bantuan hukum dan/atau akses  pendampingan bantuan hukum tidak diatur dengan tegas dalam RUU Intelijen Negara terhadap tersangka dalam operasi intelijen (ICCPR pasal 14 ayat 3 huruf b);
7.       RUU Intelijen Negara belum mengatur tentang hak-hak korban (rehabilitasi, kompensasi, reparasi) dari penyelenggaraan operasi intelijen yang menyalahi prinsip-prinsip kerjanya yang tidak legal dan  profesional serta melanggar asas-asas penyelenggaraan (pasal 2 RUU);
8.       Bahwa dalam klausul ancaman atau keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya harus diumumkan secara resmi dan pihak pemerintah berkewajiban mendeklarasikannya kepada semua pihak dalam negeri dan pihak luar negeri melalui perantaraan Sekretaris Jenderal PBB (Pasal 4 ICCPR);
9.       Berkaitan dengan perlindungan identitas dan garis komando, undang-undang harus menetapkan bahwa bagaimanapun perlindungan identitas dan profesi intelijen dapat dibuka untuk kepentingan penegakan hukum, proses pengungkapan kejahatan serius (kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, dan agresi). Batasan hukum bagi perlindungan profesi dan identitas anggota intelijen ini merupakan poin efektif maupun demokratik bagi UU Intelijen Negara. Ketiadaan pengaturan ini akan membuat publik maupun aparat penegak hukum tidak memiliki akses terhadap informasi anggota intelijen yang diduga melakukan tindakan kejahatan serius (pasal 26 RUU);

Maka bersama dengan ini KontraS Sumut dan IKOHI Sumut yang juga tergabung dalam KOMJEN (Koalisi Masyarakat Sipil Sumut Mengawal RUU Intelijen Negara) merekomendasikan dan menuntut kepada pemerintah dan DPR RI-Daerah:

1.       Tunda pengesahan RUU Intelijen Negara yang rencananya akan disahkan pada bulan Juni atau Juli 2011;
2.       Tolak dan hapus klausul kewenangan penangkapan dan/atau penahanan 7 x 24 jam oleh intelijen Negara yang ada dalam DIM versi pemerintah;
3.       Segera Finalisasi pembentukan dan pengesahan RUU Keamanan Nasional, RUU Penyadapan sebagai acuan dari RUU Intelijen Negara;
4.       Mempertimbangkan desakan-desakan public dan rekomendasi KOMJEN dan koalisi masyarakat sipil lainnya dalam finalisasi RUU Intelijen Negara;
5.       Memasukkan hasil analisa dan usulan KOMJEN dalam klausul RUU Intelijen Negara yang akan dibentuk dan disahkan;
6.       Menjamin adanya asas demokrasi dan HAM dalam penyelenggaran kerja-kerja Intelijen Negara yang diatur dalam RUU Intelijen Negara;
7.       Menjamin tidak adanya praktek-praktek kekerasan, penculikan, penyiksaan, pembatasan hak-hak berdemokrasi  dalam operasi intelijen dengan adanya pengesahan RUU Intelijen Negara;
Mendesak kerja-kerja Intelijen Negara Pusat dan Daerah yang professional dan strategis dengan mengedepankan ancaman dan gangguan yang berasal dari luar negeri dalam menjaga stabilitas Negara   tidak menjadi mata-mata dan musuh rakyatnya sendiri;
Mendorong kerja-kerja Kominda di tingkat daerah yang professional, akuntabel, dan membuka ruang akses DPRD dan public/masyarakat sipil dalam melakukan control dan pengawasan kerja-kerja KOMINDA;
8.       Mendorong prioritas pengamanan di daerah perbatasan-perbatasan laut, darat dan udara khususnya di kepulauan Sumatera dalam rangka menjaga keamanan dan stabilitas NKRI

Kami sangat mengapresiasi sikap anggota parlemen DPR RI  yang menolak rencana pemberian kewenangan menangkap untuk intelijen di dalam RUU Intelijen. Sudah seharusnya pembentukan Undang-Undang Intelijen dapat menjamin sinkronisasi antara kebutuhan negara dalam menjaga keamanan nasional dan jaminan HAM serta perlindungan kebebasan masyarakat sipil dalam bernegara dan berdemokrasi.

Sumber :
http://bitra.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=335:ancaman-pelanggaran-ham-kebebasan-sipil-pada-penerapan-ruu-intelijen&catid=41:release&Itemid=64

Tidak ada komentar:

Posting Komentar