Jumat, 17 Februari 2012

Ringkasan Analisa atas RUU Intelijen dan Revisi RUU Terorisme RINGKASAN ANALISA TERHADAP RUU INTELIJEN & RUU TENTANG PERUBAHAN UU NO. 15/ 2003 TENTANG TERORISME

  1. Berbagai peristiwa mutakhir terkait dengan aksi terorisme dan penetrasi sistematis gerakan Negara Islam Indonesia (NII) menjadi argumentasi baru otoritas keamanan untuk mengesahkan RUU Intelijen Negara dan Revisi UU No. 15/ 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kementerian Pertahanan misalnya, meyakini jika dua RUU ini disahkan, maka dengan fungsi intelijen yang kuat, berbagai aksi teror dapat ditekan dan penetrasi gerakan yang mengancam ideologi bangsa bisa dideteksi secara dini. Pada 30 April 2011, Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro menilai aparat keamanan Indonesia kesulitan menangkal munculnya keresahan masyarakat akibat gerakan NII dan teror bom karena tidak ada UU Intelijen dan UU Keamanan Negara. Sementara terkait dengan revisi UU Terorisme, selain usulan pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam memberantas terorisme, revisi UU ini juga mengarah pada peningkatan deteksi dini dari terorisme dengan kewenangan yang lebih. UU No. 15/2003 dianggap tidak mampu menjangkau munculnya bibit-bibit aksi terorisme. Boy Rafly Amar, mengatakan bahwa “Pasal-pasal yang perlu dikaji terutama tentang aturan-aturan yang menjangkau dan memungkinkan aksi-aksi teror tak berkembang lagi. Karena sebagai kejahatan luar biasa, terorisme butuh penanganan ekstra. Terutama, untuk aturan yang memberikan kesempatan kepada aparat penegak hukum bisa maksimal menangani teroris, tapi tetap menghargai Hak Asasi Manusia. (18/3/2011) 
  1. Pemanfaatan peristiwa mutakhir untuk melegitimasi hasrat politik mengesahkan dua RUU (termasuk RUU Keamanan Nasional) jelas tidak relevan, karena secara fungsional tugas-tugas intelijen sesungguhnya sudah berjalan di berbagai institusi negara. Badan Intelijen Negara (BIN), Polri, TNI, dan Kementerian terkait selama ini telah memiliki legitimasi yuridis menjalankan fungsi intelijen. Hasrat politik ini harus dibendung mengingat berbagai kontroversi dalam RUU Intelijen khususnya, masih sangat besar. Penolakan terhadap RUU Intelijen, selain datang dari organisasi masyarakat sipil, seperti yang tergabung dalam Koalisi Advokasi RUU Intelijen juga dari kalangan DPR RI. Koalisi mengeluarkan 12 catatan kritis atas RUU Intelijen, sedangkan Komisi I DPR secara khusus keberatan dengan wewenang penangkapan (yang saat ini sudah dihilangkan) dan wewenang penyadapan. Ahmad Muzani (Fraksi Partai Gerindara) misalnya, mengatakan secara tegas penyederhanaan cara pandang dalam menyikapi maraknya aksi terorisme dan penetrasi NII adalah kurang tepat, karena RUU Intelijen sesungguhnya memiliki tujuan lebih besar, yakni untuk mewujudkan tujuan nasional negara sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD Negara RI 1945. "Saya tidak setuju soal NII dikaitkan dengan itu (UU Intelijen). Kalau nanti DPR menyetujui (pasal) penyadapan dan penangkapan, itu karena untuk kepentingan yang cukup besar. Sekali lagi, jangan persoalan NII ini disimplifikasi karena masalah Undang-Undang Intelijen...” (3/5/2011).
  1. SETARA Institute berpandangan bahwa negara memang membutuhkan intelijen yang kuat, terkontrol, akuntabel, dan menghormati hak asasi manusia. Karena itu dasar hukum pembentukan dan penyelenggaraan kegiatan intelijen yang saat ini ada, Instruksi Presiden No. 5/2002 tentang Koordinasi Intelijen oleh Badan Intelijen Negara perlu ditingkatkan menjadi undang-undang. Sebagaimana diketahui bahwa Inpres ini hanya memuat 3 butir instruksi dengan substansi yang tidak jelas dan tegas. Bahkan Inpres ini sama sekali tidak mengatur secara khusus kewenangan dan pertanggungjawaban intelijen kecuali memposisikan BIN sebagai penanggung jawab utama pembuatan kebijakan dibidang intelijen. Tapi tidak dengan materi sebagaimana substansi yang saat ini tersedia dalam RUU Intelijen. Bukan juga karena argumentasi yang sederhana, tapi sesungguh-sungguhnya untuk kepentingan bangsa dalam mencapai tujuan nasionalnya.
  1. Demikian juga dengan UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, hasrat revisi sekali lagi harus diletakkan dalam rangka memperluas kewenangan intelijen dalam mendeteksi segala potensi tindakan terorisme. Sebagaimana dikatakan Ansyaad Mbai, yang dibutuhkan adalah peraturan yang memberikan ruang gerak kepada intelijen dan kepolisian untuk bisa bertindak pro-aktif menangani aksi teror. Sebab, undang-undang yang berlaku saat ini hanya memberikan kewenangan kepada polisi setelah bom meledak.. Dan informasi dari intelijen itu juga tidak bisa langsung jadi dasar polisi untuk bertindak. Ansyad juga membandingkan UU Terorisme di Indonesia dengan UU sejenis di negara lain. Ansyaad mengatakan di negara lain aparat diperkenankan untuk menangkap seseorang yang dinilai memulai propaganda teror. Di Indonesia, hal itu yang belum dipraktekkan. "Kuncinya adalah menangkap orang yang memulai propaganda menanamkan kebencian karena mereka berbahaya dan semestinya ditangkap." (19/3/2011).
RUU TENTANG INTELIJEN NEGARA
  1. DEFINISI tentang intelijen secara umum telah mengadopsi definisi yang selama ini lazim digunakan di berbagai negara. Meskipun dalam hal kewenangan, RUU ini memperluas wewenangnya melampaui definisi yang dirumuskannya. Yang menjadi persoalan adalah rumusan Pasal 1 (2) yang menyatakan bahwa “intelijen negara adalah lembaga pemerintah yang merupakan bagian integral dari sistem keamanan nasional yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan fungsi intelijen”. Rumusan definisi sebagaimana disebutkan di atas bertolak belakang dengan landasan filosofis pembentukan RUU ini, sebagaimana disebutkan dalam konsideran Menimbang (a) yakni untuk mewujudkan tujuan nasional. Sebagai instrumen mewujudkan tujuan nasional negara, maka sudah seharusnya intelijen negara diletakkan sebagai lembaga negara, bukan lembaga pemerintah non departemen sebagaimana sebelumnya. Penegasan ini penting karena kepatuhan intelijen bukan pada pemerintah yang berkuasa tapi pada kepentingan nasional untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional.
  1. PENYELENGGARAAN intelijen sebagaimana pengalaman di masa Orde Baru, kepatuhan intelijen memusat pada Presiden tanpa kontrol dan tanggung jawab lain selain kepada Presiden. Momentum pembahasan RUU Intelijen harus diletakkan sebagai pembuka reformasi sektor intelijen secara holistik. Penegasan posisi intelijen sebagai lembaga negara juga memungkinkan aparatus intelijen menolak perintah penguasa yang bertentangan dengan tujuan nasional negara.
  1. KEANGGOTAAN intelijen dalam rumusan RUU Intelijen juga didominasi oleh aparat keamanan dan pertahanan yang aktif, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 21 (1) yang menyebutkan bahwa sumber tenaga intelijen negara berasal dari masyarakat, Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, Markas Besar Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan intelijen negara lainnya. Badan intelijen sepenuhnya merupakan badan sipil yang bertanggung jawab kepada Presiden sebagai Kepala Negara dan kepada DPR RI dengan personel yang juga sipil. Meski dimungkinkan individu yang berlatar belakang militer bergabung, tetapi dirinya sudah tidak lagi berkarir di militer. Kecuali intelijen pada institusi-institusi yang sudah ada, seperti di TNI, Polri, Kejaksaan.
  1. TUGAS DAN WEWENANG intelijen sepenuhnya adalah mengumpulkan informasi, menganalisa, dan merumuskan langkah apa yang perlu diambil oleh pemerintah berkaitan dengan suatu ancaman yang menjadi sorotan. Intelijen tidak bergerak dibidang pengamanan termasuk penindakan seperti penangkapan. Karena penangkapan adalah wewenang satuan tugas yang ada pada unit polisi dan militer atau satuan tugas anti teror yang dibentuk terpisah. Penegasan tugas dan wewenang ini dimaksudkan dalam rangka memperkuat sistem peradilan pidana yang memisahkan tugas-tugas peradilan pada masing-masing institusi penegak hukum. Usulan Pemerintah yang tercantum pada Pasal 15 (2) dan (3) yang berbunyi “Pencegarahan dan penangkalan dini serta pemeriksaan intensif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap orang yang diduga kuat terkait dengan terorisme, separatisme, spionase, subversi, sabotase, dan kegiatan atau tindakan yang mengancam keamanan nasional” “Pemeriksaan intensif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam waktu paling lama 7x24 (tujuh kali dua puluh empat) jam.” Bunyi pasal di atas secara implisit tetap memberikan kewenangan kepada intelijen untuk melakukan penangkapan. Konsisten dengan rumusan definisi intelijen, maka pengaturan di atas harus dikeluarkan dari RUU Intelijen negara ini. Pemeriksaan intensif adalah penangkapan terselubung tanpa mekanisme peradilan yang sahih.
  1. Terkait dengan wewenang penyadapan/ intersepsi, Pasal 31 menyebutkan “Selain wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 (1) lembaga koordinasi intelijen negara memiliki wewenang khusus melakukan intersepsi komunikasi dan pemeriksaan aliran dana yang diduga kuat untuk membiayai terorisme, separatisme, dan ancaman, gangguan, hambatan, tantangan yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demikian juga wewenang untuk memperoleh informasi dari Bank Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Sekalipun rumusannya tidak imperatif mewajibakan tapi wewenang yang berlebihan ini memungkinkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Penyadapan dimungkinkan dan hanya digunakan untuk situasi dan kondisi yang genting dan atas izin pengadilan, sehingga menghindari adanya abuses dari intelijen.
  1. Penyadapan berdasarkan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, ditegaskan bahwa yang berwenang melakukan penyadapan seharusnya adalah aparat penyidik setelah mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Kewenangan yang sama diatur dalam Pasal 31 RUU Intelijen, hanya saja tidak ditegaskan bahwa wewenang tersebut bisa dijalankan hanya dengan izin pengadilan. Pesan implisit tentang pentingnya pengaturan mekanisme penyadapan juga ditegaskan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No. 006/PPU-1/2003 dan Putusan No. 012-016-019/PUU-IV/2006 yang menguji UU Komisi Pemberantasan Korupsi terkait kewenangan penyadapan dan Putusan No. 5/PUU-VIII/2010 yang menguji UU Informasi Dan Transaksi Elektronik. Untuk itu tidak seharusnya RUU Intelijen memuat kewenangan khusus penyadapan, apalagi tanpa mekanisme yang sahih.
  1. Selain tugas dan wewenang, di antara tiga fungsi intelijen yang juga mengundang kontroversi adalah fungsi pengamanan. Dalam Pasal 6 (3) disebutkan “Pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terrencana dan terarah untuk mencegah/ atau melawan upaya, pekerjaan, kegiatan intelijen dan/atau pihak lawan yang merugikan kepentingan dan/atau stabilitas nasional.”. Rumusan ini mengandung tafsir bahwa sesungguhnya kewenangan yang melekat pada aparat keamanan, Polri, juga sangat mungkin dilakukan oleh intelijen negara. Rumusan sumir yang menyebut “serangkaian kegiatan” tanpa batasan yang jelas dan tegas mengundang kontroversi, bahwa sekalipun rumusan kewenangan melakukan penangkapan telah dihapus, tapi masih sangat mungkin akan dilakukan dengan melakukan penafsiran hukum yang diperluas dari rumusan sumir di atas.
  1. Yang paling minim diatur dalam RUU Intelijen salah satunya adalah terkait dengan AKUNTABILITAS INTELIJEN. Badan intelijen dan hak asasi manusia adalah isu yang dewasa ini menjadi salah satu perhatian utama dari komunitas internasional termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), khususnya dalam rangka pencegahan terorisme. Meskipun belum ada sebuah standar internasional tentang bagaimana sebuah kerja badan intelijen, tapi ada kesepakatan internasional bahwa dalam menjalankan kerjanya, badan intelijen harus mematuhi prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia. Dengan kata lain perlu ada keseimbangan di satu sisi untuk melindungi keamanan nasional dan di sisi lain untuk menghormati hak asasi manusia. Tiga prinsip dasar yang menjadi titik temu: menjaga nilai-nilai demokrasi (to guard), melindungi (to protect) keamanan nasional, dan menghormati (to respect) hak asasi manusia
  1. RUU Intelijen mengatur soal akuntabiltas dengan tiga (3) bentuk akuntabilitas. Pertama, melalui Presiden, di mana seluruh laporan kinerja intelijen negara akan dilaporkan kepada Presiden. Pasal 36 menyebutkan “Laporan dan tanggung jawab kegiatan disampaikan secara tertulis oleh intelijen negara kepada Presiden melalui Kepala Lembaga Koordinasi Intelijen Negara (LKIN); kedua, melalui penegekan Kode Etik oleh Dewan Kehormatan Intelijen Negara; dan ketiga pengawasan oleh DPR, seperti diatur dalam Pasal 37. Sebagai sebuah institusi yang melakukan kerja intelijen dan rahasia, tiga medium pertanggungjawaban dan pengawasan sebagaimana disebutkan di atas jelas tidak memadai. Potensi penyalahgunaan wewenang oleh intelijen sama sekali tidak bisa dimintai pertanggungjawaban hukum.
  1. Pelaporan kepada Presiden sebagai Kepala Negara merupakan konsekuensi logis dari posisi LKIN yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan posisi Presiden sebagai pengguna ouput kerja intelijen. Tidak ada mekanisme yang ketat bagaimana Presiden mengontrol kinerja intelijen negara. Sementara Dewan Kehormatan, sebagaimana lazimnya penegak Kode Etik dalam sebuah institusi, sedikit sekali yang bisa bekerja optimal dan imparsial seperti badan eksternal. Dalam institusi TNI, Polri, dan Kejaksaan jarang sekali produk kerja penegak Kode Etik ini yang independen. Semangat membela korps dan prosedur yang tidak terbuka hanya menjadikan anggota-anggota yang melanggar Kode Etik tetap immun dan dalam beberapa kasus justru melembagakan impunitas.
  1. Sementara pengawasan yang dilakukan DPR RI tidak lepas dari implementasi tugas dan wewenang DPR RI dalam rangka menjalankan peran pengawasan kepada pemerintah dan lembaga-lembaga negara. Tidak cukup bagi DPR RI membentuk badan ad hoc yang sewaktu-waktu bisa dibentuk untuk melakukan pengawasan (Pasal 37 Ayat 2). Dengan segenap kewenangan kontroversialnya, justru RUU Intelijen gagal merumuskan mekanisme akuntabilitasnya. Belum lagi terkait dengan anggota-anggota yang melakukan abuses dan perbuatan melawan hukum. Apakah anggota intelijen bisa dimintai pertanggungjawaban hukum?
  1. Komunitas internasional menyadari untuk memperkuat akuntabilitas badan intelijen perlu ada pengawasan eksternal (external oversight) yang imparsial, sepenuhnya independen dan tidak memiliki kepentingan politik. Pengawasan eksternal dilakukan oleh: Pertama, parlemen; kedua, oleh pengadilan; dan ketiga, adalah an external overseeing body (badan pengawas eksternal). Dalam konteks negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia sudah seharusnya intelijen diatur secara ketat sehingga sekecil mungkin dapat ditekan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Namun demikian, Draft RUU Intelijen Negara yang ada justru sejak awal mengusung maksud membatasi hak asasi manusia. Sangat jelas bagaimana Pasal 28 J UUD Negara RI 1945 dijadikan dasar hukum untuk melegitimasi pembatasan hak asasi manusia dalam penyelenggaraan intelijen negara.
  1. Di parlemen sebaiknya dibentuk komite khusus yang menangani masalah intelijen dan keamanan nasional. Di DPR RI saat ini masalah tersebut menjadi urusan dari Komisi I, namun untuk lebih mengefektifkan fungsi pengawasan terhadap masalah ini dalam Komisi I bisa dibentuk sub komisi dengan jumlah anggota terbatas dan selektif yang khusus bekerja untuk masalah ini. Apalagi mengingat persoalan yang diurus Komisi I berlingkup sangat luas. Hanya perlu ditekankan anggota komite khusus ini betul-betul harus bekerja berdasarkan standar kompetensi dan profesionalitas dan menanggalkan kepentingan politik termasuk kepentingan partainya.
  1. Pengadilan menjadi penting dilibatkan dalam pengawasan eksternal terutama dalam menyangkut perlindungan hak asasi manusia dan penegakan hukum. Meski intelijen dan badan intelijen bukanlah bagian dari due of law atau proses hukum; dan laporan intelijen sendiri bukanlah bukti hukum yang bisa digunakan dalam pengadilan. Namun karena laporan intelijen merupakan input bagi proses penegakan hukum, maka pengadilan menjadi bagian inhern dalam menilai kualitas dan akuntabilitas kinerja lembaga intelijen.
  1. Badan yang disebut sebagai an external overseeing body (badan pengawas eksternal) mempunyai kewewenangan penuh untuk melakukan pengawasan terhadap kerja badan intelijen. Bahkan badan ini dapat melakukan investigasi terhadap aktivitas yang dilakukan intelijen dan melaporkan hasilnya ke parlemen dan publik. Untuk itu Badan ini harus bisa memiliki akses terhadap informasi yang bersifat rahasia. Keberadaan lembaga pengawas eksternal ini juga menegaskan bahwa intelijen negara bukan tunduk pada pemerintah yang berkuasa tapi tunduk pada politik negara dan dalam rangka mencapai tujuan nasional.
  1. RUU Intelijen justru melakukan kriminalisasi berlebihan terhadap anggota intelijen yang melakukan tindakan pelanggaran, yang dikategori sebagai tindak pidana. Pasal 38 RUU Intelijen menegaskan bentuk tindak pidana “sengaja membocorkan informasi intelijen”, tindak pidana kelalaian yang mengakibatkan bocornya informasi intelijen (Pasal 39), tindak pidana membocorkan seluruh upaya, pekerjaan, kegiatan, sasaran, informasi, dll (Pasal 40), dan tindak pidana melakukan intersepsi di luar fungsi intelijen. Kriminalisasi ini pun tidak melihat relasinya sama sekali dengan keberadaan UU Keterbukaan Informasi Publik termasuk mekanisme yang disediakan oleh UU KIP, yakni Komisi Informasi Pusat.
RUU TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NO. 15/2003 TENTANG TINDAK PIDANA TERORISME
  1. Draft RUU tentang Perubahan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengandung materi muatan yang MENGKRIMINALISASI WARGA NEGARA SECARA BERLEBIHAN (overcriminalization) dari UU sebelumnya. Dalam draft revisi ini sejumlah tindakan dikualifikasi sebagai tindak pidana yang diadopsi dengan semangat pre emptive (pencegahan dini). Penambahan jenis tindakaan yang bisa dikenai hukuman antara lain:
    1. memperdagangkan bahan peledak dapat dipidana 12 tahun (Pasal 9A)
    1. setiap orang yang mengetahui dugaan tindak pidana terorisme diancam pidana 7 tahun penjara; sedangkan jika tindak pidana terorisme itu benar-benar terjadi maka dipidana 12 tahun penjara. (Pasal 13A)
    2. dipidana paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun setiap orang yang: (Pasal 13 B)
      • menjadi anggota organisasi atau kelompok yang secara nyata bertujuan melakukan tindak pidana terorisme;
      • meminta atau meminjam uang dan/atau barang dari organisasi atau kelompok yang secara nyata bertujuan melakukan tindak pidana terorisme;
      • menyelenggarakan pelatihan paramiliter yang bertujuan melakukan tindak pidana terorisme;
      • mengikuti pelatihan paramiliter baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang bertujuan melakukan tindak pidana terorisme;
      • menyebarkan kebencian atau permusuhan yang dapat mendorong orang, mempengaruhi orang atau merangsang terjadinya terorisme.
  1. Revisi sebagaimana dikemukakan di atas tampaknya diorientasikan untuk sepenuhnya menopang kerja-kerja preventif pemberantasan terorisme. Namun demikian, rumusan tindakan yang tidak jelas dan bias, sangat berpotensi merampas hak-hak sipil warga negara. Secara khusus SETARA Institute menyoroti tindak pidana menyebarkan kebencian atau permusahan yang dapat mendorong orang, mempengaruhi orang atau merangsang terjadinya terorisme. Rumusan ini memang sangat membantu kerja pemberantasan terorisme di tingkat hulu tapi sangat membahayakan bagi jaminan kebebasan berekspresi, berserikat, dan kebebasan mengeluarkan pikiran. SETARA Institute berpandangan bahwa terorisme adalah puncak dari intoleransi; dan intoleransi adalah titik mula dari terorisme. Namun demikian, tidak berarti berbagai tindakan intoleransi dikualifikasi sebagai bagian dari tindakan terorisme. Yang bisa dipastikan, bahwa penyebaran kebencian bisa dikaulifikasi sebagai tindak pidana.
  1. Demikian juga klausula “menjadi anggota organisasi atau kelompok yang secara nyata bertujuan melakukan tindak pidana terorisme”. Rumusan ini sangat berpotensi mengundang kontroversi. Jika organisasi-organisasi yang selama ini dianggap sebagai basis dan persemaian terorisme dianggap sebagai organisasi yang masuk dalam kategori rumusan pasal di atas, maka mudah bagi kepolisian untuk melakukan penangkapan. Namun bagaimana dengan jaminan kebebasan berserikat? Inilah beberapa kontroversi yang menuntut penyikapan dan pengkajian yang serius.
  1. Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga menegaskan bahwa LAPORAN INTELIJEN bisa menjadi salah satu alat bukti (Pasal 26, dan Pasal 27). Sebelumnya, di dalam UU 15/2003 laporan inteleijen hanya menjadi bukti permulaan untuk melakukan penangkapan; tapi dalam revisi ini, selain mempertahankan kualitas laporan intelijen sebagai bukti permulaan untuk melakukan penangkapan, draft revisi ini menegaskan bahwa laporan intelijen yang diperoleh selama masa penyidikan dan penuntutan bisa menjadi alat bukti. Rumusan ini salah satu bentuk perluasan tentang jenis-jenis alat bukti dari UU yang sebelumnya. Yang menjadi persoalan adalah bahwa sumber informasi ini berdasarkan dari laporan intelijen bukan dari fakta peristiwa yang obyektif. Meskipun pengadilan tetap memiliki peran untuk menetapkan bukti permulaan itu sah atau tidak sah, tapi karena sumbernya yang berasal bukan dari fakta peristiwa, maka tetap sulit dilakukan proses obyektivikasi.

  1. Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menambah satu bab yang menegaskan KEBERADAAN BADAN NASIONAL PENANG-GULANGAN TERORISME (BNPT) sebagai badan baru yang bertugas melakukan pencegahan, perlindungan, penindakan, pemberantasan, deradikalisasi, kerjasama internasional, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional terkait tindak pidana terorisme. BNPT secara organisasi telah terbentuk berdasarkan Peraturan Presiden No. 46/2010 tentang Pembentukan BNPT dan telah beroperasi sejak Januari 2011 lalu.
KESIMPULAN
Menyimpulkan bahwa negara sesungguhnya jelas membutuhkan UU tentang Intelijen Negara dan juga UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, namun demikian harus dengan materi muatan yang sungguh-sungguh menghargai demokrasi dan hak asasi manusia. 
Mendesak kepada Presiden dan DPR RI untuk membuka kembali perdebatan yang seluas-luasnya untuk menghimpun berbagai masukan, sehingga diperoleh UU yang berkualitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar