Jumat, 17 Februari 2012

Kualitas Intelijen Indonesia



Apakah karena nyaris tak terdengar, maka intelijen Indonesia menjadi begitu jeleknya? Apakah karena masih saja terjadi konflik terbuka, maka intelijen Indonesia tidak bekerja maksimal? Apakah karena artikel saya yang sebelumnya tentang rekrutmen intelijen, maka intelijen Indonesia secara keseluruhan berkinerja buruk/negatif?
Tentu dalam menarik logika tidak sesederhana itu. Saya tidak akan membela intelijen bila memang pantas dikritisi, saya juga tidak akan menjatuhkan kredibilitas intelijen Indonesia hanya karena sedikit barang bukti tentang kinerja mereka.
Ketika saya melakukan penelitian terhadap korupsi besar-besaran di tubuh Pertamina, sungguh sedih menyaksikan perusahaan raksasa kebanggaan nasional era 70-80an tersebut tersungkur karena selain mismanagement juga disebabkan oleh mismentalitet sejumlah pengelolanya. Tetapi tidak seluruhnya mengandung mentalitet sampah, dan banyak diantara pengelola Pertamina yang berusaha profesional. Begitu juga dengan penelitian terhadap Garuda Indonesia. Saya kira saudara-saudara yang bekerja untuk dua perusahaan besar tersebut mengerti maksud saya. Sayangnya secara internal seluruh aib perusahaan disimpan bahkan tidak sedikit yang sudah musnah. Sehingga transparansi kepada publik nyaris mustahil.
Apabila dilakukan penelitian mendalam atas Intelijen Indonesia, maka hasilnya kurang lebih akan mirip. Ada bagian-bagian yang rusak namun tidak sedikit bagian-bagian yang bekerja optimal. Oleh karena itulah, kalo dalam perusahaan swasta ada upaya perbaikan melalui reengineering yang bertujuan menghidupkan kembali organisasi. Dalam intelijen Indonesia, upaya-upaya perbaikan secara nyata telah dilakukan dan tentunya hal ini tidak perlu dilaporkan kepada publik. Sesuai dengan kerangka demokrasi, perbaikan kinerja intelijen Indonesia cukup untuk diketahui oleh pemerintah (presiden) selaku user dan DPR selaku mitra pemerintah.
Kepada pembaca Blog I-I yang juga menggunakan nama samaran senopati, saya harap ikut menjaga makna nama senopati dengan bertanggung jawab. Artikel ini saya tuliskan untuk menjawab rasa penasaran para senopati-senopati yang bertanya-tanya tentang kualitas intelijen Indonesia.
  1. Soal rekrutmen. Proses rekrutmen yang ideal telah ada sejak masa Orde Lama, era BPI sampai sekarang. Baik yang ditargetkan kepada mereka yang berlatarbelakang pendidikan SMA maupun Sarjana. Metode rekrutmen sejak masa perkuliahan seorang calon agen juga telah terselenggara secara berkelanjutan tanpa melihat periode waktu melainkan berdasarkan kebutuhan. Disamping itu ada yang mengikuti formasi pembukaan lowongan menjadi PNS intelijen, yang periodenya bisa jadi sama dengan masa penerimaan CPNS instansi pemerintah lain. Kemudian ada juga yang direkrut dari kalangan militer dan polisi dengan melihat latar belakang pendidikan intelijennya atau pengalaman kerjanya. Nah....dari mereka-mereka yang direkrut secara ideal, diperoleh calon-calon agen yang handal dan menjadi motor organisasi. Sementara, apa yang pernah saya tuliskan sebagai rekrutmen yang buruk adalah ekses dari sistem rekomendasi. Apa yang saya khawatirkan adalah bahwa porsi yang ideal semakin sedikit. Dengan penjelasan ini, maka cukup jelas mengapa kadang masyarakat menemui sosok intel yang "payah", tetapi jarang bertemu intelijen yang handal. Tentu saja begitu, karena yang payah tersebut mudah blow-up terbongkar dan yang handal mungkin tidak akan pernah dikenal. Padahal anda mungkin sering berdiskusi dengan agen intel yang handal tersebut tanpa menyadarinya.
  2. Orang-orang Sandi Negara bukanlah intelijen aktif yang biasa melakukan operasi-operasi khusus, mereka adalah sandiman dengan dunia yang penuh rahasia dan kode etik tersendiri. Peranan sandiman sangat penting dalam menjaga keamanan informasi negara dan oleh karena itulah, mereka dilatih secara khusus baik sistem sandi tradisional maupun yang memanfaatkan teknologi. Disana juga diisi orang-orang sipil dan militer yang terlatih dalam soal persandian. Rekrutmen sejak SMA karena memang kebutuhan dan masa pelatihan yang sekarang setara dengan Diploma IV atau bahkan setara S1.
  3. Mengenai orang-orang Indonesia lulusan perguruan tinggi yang direkrut oleh Kedutaan Besar Amerika maupun Kedutaan Besar Asing lainnya, memang benar mereka orang pilihan karena rekrutmen Embassy Asing tentunya tidak main-main. Bahwa kemudian mereka bekerja untuk kepentingan asing saya kira itu usrusan pribadi mereka. Bahkan bila mereka dilatih sedemikian rupa seperti seorang agen intelijen, maka itu juga menjadi tanggung jawab mereka. Tanpa adanya bukti yang bisa diajukan ke meja pengadilan, sulit untuk menuduh mereka sebagai penghianat bangsa. Tetapi saya pernah bertemu dengan pensiunan penghianat negara yang hanya bisa menyesali hari tua karena telah menjadi alat asing. Hal itu disebabkan karena ada beberapa informasi vital yang pernah dia berikan kepada pihak asing yang menyebabkan hancurnya sejumlah sendi kehidupan sosial ekonomi bangsa Indonesia. Tentu kita tidak perlu mengingatkan tentang dosa menyengsarakan rakyat tersebut. Setahu saya, penggunaan teknologi di Kedubes Amerika pun masih biasa saja, kalaupun seseorang dalam Kedutaan mengaku mampu menembus hampir semua instansi pemerintah melalui internet, itu mungkin saja karena memang informasi tersebut terbuka dan bebas diakses siapa saja.
  4. Sistem kerja intelijen asing di Kedutaan Besar ada dua, yaitu yang terbuka sering dikenal sebagai counter part dan yang tertutup atau dikenal spionase. Mereka yang terbuka bahkan saling bekerjasama dan tukar-menukar informasi. Sedangkan mereka yang tertutup melakukan operasi spionase untuk memperoleh informasi rahasia yang vital bagi sebuah negara. Negara-negara komunis dan rejim militer melakukan kontra spionase yang sangat ketat bahkan seperti dalam pemainan sepak bola satu agen asing dijaga ketat minimal satu agen kontra. Pada masa saya masih bertugas, saya bahkan pernah on the spot bersama teman-teman kontra mendata satu per satu agen intel asing sampai ke tempat tinggalnya. Saya kira bila sistem pengawasan intel asing tersebut masih berjalan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
  5. Persoalan dalam menghadapi intel asing sejak zaman dahulu adalah klasik, yaitu ketertinggalan dalam soal teknologi, baik komunikasi maupun trasportasi serta dana operasi. Bayangkan jika anda naik motor mengawasi intel asing yang naik mobil. Atau bayangkan kejadian ketika tiba-tiba sistem komunikasi mati karena pihak lawan sudah memiliki teknologi yang lebih tinggi. Tetapi saat ini, saya yakin ketertinggalan tersebut sudah tidak lagi relevan.
  6. Saat ini di dalam negeri ada tiga organisasi intelijen yang bekerja secara aktif, yaitu BIN (Badan Intelijen Negara), BAIS (Badan Intelijen Strategis), dan BIK (Badan Intelijen Kepolisian). Di masa depan saya meramalkan peranan BIK akan semakin dominan dalam menjaga ketertiban dan ketentraman masyarakat. Hal ini dikarenakan watak Kepolisian yang semakin sipil dan menjadi pengayom masyarakat dan hal ini tentunya perlu ditunjang oleh profesionalisme dan juga didukung oleh dasar hukum yang kuat.
Demikian, semoga pembaca Blog I-I dapat melihat kondisi intelijen Indonesia secara lebih obyektif. Mohon maaf kepada pihak yang berwenang atas kelancangan saya menuliskan artikel yang lebih transparans kepada publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar