Rapat
pengesahan yang diikuti 349 anggota DRP itu dipimpin oleh Wakil Ketua
DPR Priyo Budi Santoso. Dalam pernyataannya, Priyo mengatakan bahwa
keputusan itu diambil secara bulat oleh seluruh fraksi di DPR pada rapat
paripurna akhirnya memberikan persetujuan dan mendukung untuk Rancangan
Undang-undang Intelijen disahkan menjadi Undang-undang hari Selasa, 11
Oktober 2011.
Wakil ketua komisi I Agus Gumiwang mengatakan bahwa
terkait ancaman terhadap kepentingan dan keamanan nasional yang kini
jenisnya semakin beragam. Ancaman-ancaman itu tidak lagi bersifat
tradisional, tapi lebih banyak diwarnai dengan ancaman nontradisional.
Hakikat ancaman telah mengalami pergeseran makna, bukan hanya meliputi
ancaman internal, tapi juga meliputi ancaman luar yang bersifat simetris
atau konvensional, maupun asimetris atau nonkonvensional.
Agus
menjelaskan bila kedua bentuk ancaman itu tidak diantisipasi secara
dini, maka dapat menimbulkan ancaman yang lebih multidimensional. Dengan
demikian, identifikasi dan analisis terhadap berbagai ancaman tersebut
harus dilakukan secara lebih komprehensif, sesuai dengan dinamika
perkembangan dan perhitungan strategis.
“Untuk mencegah
ancaman-ancaman tersebut menjadi nyata, maka negara ini membutuhkan
intelijen negara yang tangguh, profesional, dan proporsional. Itu semua
harus disertai penguatan kerjasama koordinasi intelijen, demi menjaga
tegaknya hukum, nilai-nilai, prinsip demokrasi, dan penghormatan
terhadap hak azasi manusia”ujarnya
Menurut Agus, intelijen negara
juga perlu melakukan berbagai penyesuaian diri, termasuk perubahan dalam
visi, misi, paradigma, azas, dan doktrin intelijen. Sebagai payung
hukum dalam memberikan jaminan terhadap seluruh aktivitas intelijen,
demi membentuk intelijen negara yang profesional dalam melaksanakan
tugasnya.
”BIN diberikan kewenangan penyadapan, pemeriksaan
aliran dana, dan penggalian informasi. Penggalian informasi ini
merupakan pergeseran dari kewenangan sebelumnya yang diminta BIN, yaitu
pemeriksaan intensif. Jika dalam pemeriksaan intensif, seseorang
ditangkap dan ditahan oleh BIN, maka dalam penggalian informasi, BIN
harus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum lainnya untuk melakukan
penahanan atau penangkapan.” jelasnya.
“Materi krusial
yang mendapatkan resistensi tinggi dari masyarakat adalah soal
penyadapan, pemeriksaan aliran dana, dan penggalian informasi secara
mendalam. Soalnya, kewenangan itu terkait dengan nilai-nilai demokrasi,
supremasi hukum, serta pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia. Namun, kewenangan ini perlu agar intelijen bisa bereaksi cepat
dan akurat dalam mendapatkan informasi terkait kepentingan dan keamanan
nasional.” terang Agus
Pemerintah pada awalnya meminta agar
intelijen diberi wewenang agar bisa memeriksa secara intensif terhadap
orang yang diduga terkait dengan terorisme, separatisme, spionase, dan
sabotase, yang mengancam keselamatan dan keamanan nasional. Komisi
I-membidangi pertahanan dan keamanan-DPR tak setuju dengan kewenangan
ini.
Agus menjelaskan dengan penolakan itu, Badan Intelijen Negara
tidak diberi wewenang untuk menahan dan menangkap orang yang merupakan
ranah penegakan hukum. Walhasil, kewenangan itu digantikan dengan
kewenangan penggalian informasi.
Komisi Pertahanan DPR memberikan
pembatasan kewenangan terhadap Intelijen. Misalnya, kewenangan
penyadapan harus memperhatikan Undang-Undang HAM, Undang-Undang
Informatika dan Transaksi Elektronik. Penyadapan dilakukan dengan
perintah Kepala BIN untuk jangka waktu paling lama enam bulan dan dapat
diperpanjang sesuai kebutuhan.
“Selain itu, undang-undang ini juga
mengatur soal kategori rahasia intelijen. Yaitu informasi yang
membahayakan pertahanan dan keamanan negara, informasi soal harta
kekayaan alam Indonesia yang masuk kategori dilindungi kerahasiaannya,
informasi yang merugikan ketahanan ekonomi nasional, informasi yang
merugikan kepentingan politik luar negeri dan hubungan luar negeri,
informasi mengenai memorandum atau surat yang menurut sifatnya perlu
dirahasiakan, informasi yang membahayakan sistem intelijen negara,
informasi soal agen, akses dan sumber intelijen, informasi yang
membahayakan keselamatan agen intelijen, dan informasi soal rencana atau
pelaksanaan fungsi intelijen.” ujar Agus
Agus
menuturkan, rahasia intelijen ini juga diatur masa kedaluwarsanya.
Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa masa retensi atau kedaluwarsa
rahasia negara itu selama 25 tahun. Namun dapat diperpanjang dengan
persetujuan DPR. Hal krusial lainnya soal pemidanaan. Dalam
undang-undang ini, setiap orang yang membocorkan, mencuri, atau membuka
rahasia intelijen, dapat dikenakan pidana. Kepada anggota intelijen yang
membocorkan rahasia intelijen, akan mendapatkan tambahan pidana sebesar
sepertiga dari ancaman pidana maksimal.
Sumber :
http://www.dpr.go.id/id/berita/lain-lain/2011/okt/13/3220/DPR-Sahkan-UU-Intelijen-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar