Sejak peristiwa 9/11 yang hingga saat ini banyak diragukan sebagai aksi
tunggal kelompok Al-Qaeda, di seluruh dunia dan khususnya di dunia Islam
berkembang istilah radikalisasi agama yang dianggap sebagai penyebab
menjamurnya terorisme. Meski berbagai media massa barat telah
menyepakati untuk mempropagandakan Al-Qaeda sebagai musuh bersama umat
manusia, namun terasa banyak kejanggalan dimana dalam periode tertentu
akhirnya apa yg dipropagandakan sebagai musuh bersama itu ternyata
sangatlah lemah baik dari sisi kemampuan maupun teknologi sehingga
nyaris mustahil sebagai agen tunggal pelaku tindak terorisme di berbagai
belahan dunia.
Apa sesungguhnya radikalisme yg sering dikumandangkan tersebut? radix (latin) yg berarti akar menjadi inti dari makna radicalism yg secara politik kemudian diarahkan kepada setiap gerakan yang ingin merubah sistem dari akarnya. Sejarah istilah radicalism tersebut bahkan lebih banyak digunakan dalam perjalanan pertentangan politik di Barat dan sangat jarang digunakan dalam dunia agama baik Islam, Kristen maupun yg lainnya. Agama lebih mengenal istilah fanatisme atau fanaticism yang hampir identik dengan keyakinan lahir bathin atas ajaran agama yang kemudian dalam perkembangannya juga dipergunakan dalam berbagai situasi sosial maupun aliran politik.
Radikalisme hampir selalu disebabkan oleh faktor eksternal dan internal yang terjadi secara simultan sebagai faktor penentu terciptanya proses radikalisasi. Sedangkan fanatisme hampir selalu merupakan proses internal terciptanya keyakinan di dalam hati kita yang bahkan tidak terlalu membutuhkan rangsangan dari eksternal.
Mengapa saya membuka artikel kali ini dengan peristiwa 9/11, hal ini untuk menegaskan bahwa 9/11 terlepas dari siapapun dalang di belakangnya adalah faktor eksternal utama yang menyebabkan terjadinya radikalisme agama di dunia Islam. Faktor lainnya adalah konflik di Palestina, okupasi Afghanistan dan Irak serta berbagai situasi yang yang menyebabkan sebagian umat Islam hidup dalam penderitaan dan ketidakadilan. Tentu saja argumentasi ini akan dibantah dengan tuduhan bahwa justru kelompok kecil radikal Islam seperti Al-Qaeda yang memulai terjadinya proses radikalisasi dengan motto anti Barat (AS dan sekutunya) serta mendakwahkan jihad kekerasan untuk melawan Barat. Persoalan ini perlu dikembalikan kepada sumber masalahnya yakni di Afghanistan sebagai tempat percobaan berbagai alat perang guna mendukung industri pertahanan Barat serta persoalan kepentingan politik Israel yang tidak menginginkan dunia Arab yang bersatu.
Islam sebagai gerakan politik merupakan satu-satunya yang potensial menjadi alternatif di saat kemenangan ideologi demokrasi liberal atas ideologi sosialisme-komunisme berkembang ke berbagai belahan dunia. Bagaimana mengatasinya? tentu diperlukan kecerdikan tersendiri yang menyentuh hati dan pikiran manusia di dunia bukan? Agama Kristen baik Katholik maupun Prostestan telah lama dikalahkan oleh ideologi demokrasi liberal dalam wilayah kekuasaan politik, melalui proses marjinalisasi agama dan pemisahan otoritas gereja dengan otoritas negara. Akhirnya saat ini, rohaniwan Kristiani hanya duduk di pinggir arena dengan seruan-seruan moral yang bahkan diabaikan oleh semangat kemanusiaan atau nama hak asasi dimana hukum agama (Tuhan) tidak dapat diberlakukan karena manusia lebih paham dan lebih berhak mengatur dirinya sendiri dengan nilai-nilai universal. Itulah sebabnya homoseksualitas dalam artian orientasi seks menjadi hak yang asasi, itulah pula sebabnya nilai-nilai universal manusiawi tersebut saat ini sangat dominan di dunia dan tentu saja hampir semua kitab suci telah ditutup karena tidak lagi sesuai dengan tuntutan manusia modern.
Umumnya dunia Islam saat ini sedikit banyak masih berpegangan kepada nilai-nilai keagamaan baik yang tebal maupun yang tipis dipermukaan. Terdapat sejumlah prinsip yang keras yang berpotensi mengganggu propaganda demokrasi liberal misalnya masalah penegakkan hukum syariah. Oleh karena itu diperlukan agen-agen perubahan untuk memarjinalkan ajaran Islam sebagaimana pernah terjadi terhadap ajaran Kristiani. Yaitu untuk keluar dari dunia politik kekuasaan dan hanya mengurusi masalah moral.
Salah satu cara yang paling berhasil dalam sejarah adalah melalui adu domba dengan melahirkan kelompok radikal dalam dunia Islam. Siapa mereka ? yaitu kelompok awal pendukung utama jihad kekerasan yang kemudian dapat diberikan label sebagai teroris yang teramat jahat, serta para pendakwah yang menganjurkan jalan kekerasan yang akan dibenci umat manusia di dunia.
Seluruh agama yang turun di dunia ini semuannya menghadapi pembangkangan dari umat manusia yang tidak mau tunduk patuh, bahkan sejumlah orang suci atau nabi juga mati terbunuh karena sebagian manusia akan terganggu dengan dakwah mereka. Berbagai kepentingan politik telah merusak intisari ajaran agama, dan manusia sangat lihai dalam menyusun argumentasi logis untuk membuat umat manusia bingung dan akhirnya meninggalkan agama karena terlalu repot dengan urusan dunia.
Sadar ataupun tidak, kitab-kitab yang diyakini politisi modern tentang demokrasi, liberalisme, sistem sosial, dan berbagai mekanisme hubungan antar anggota masyarakat serta nilai-nilai universal telah menggantikan kitab suci agama yang dalam abad-abad sebelumnya mendominasi kehidupan manusia. Apakah hal ini berarti atheisme menang? bukan begitu arahnya karena yang saya maksud adalah pada besar-kecilnya perhatian kita kepada kitab atau buku atau ajaran yang dominan kita yakini sebagai kebenaran walaupun relatif sifatnya.
Kembali pada isu radikalisme. Seperti saya ungkapkan sebelumnya, radikalisme dirangsang baik dari faktor eksternal maupun internal yang bekerja secara simultan saling terkait mempengaruhi satu dengan lainnya. Untuk keperluan itu diperlukan agent of influence dari luar maupun dari dalam sehingga akan memancing emosi murni yang dapat diproses menjadi radikal sebagaimana terjadi dalam diri sejumlah pelaku bom bunuh diri.
Agen dari luar adalah mereka yang memancing kemarahan dalam diri seorang Muslim, misalnya George Bush Junior yang menyatakan global crusade against terrorism, secara sadar ataupun tidak telah mendorong lahirnya kembali permusuhan Islam - Kristen. Namun pada saat yang bersamaan juga mendiskreditkan istilah crusade yang dalam sejarah Kristen memiliki nama harum. Jauh sebelum 9/11, umat Islam telah menyaksikan berbagai pembantaian seperti pembantaian Sebrenica dimana 8000 Muslim laki, perempuan dan anak-anak dibantai, sementara negara-negara Barat khususnya NATO tutup mata. Di Palestina dan Lebanon berbagai aksi kekerasan Israel saling berbalas dengan kelompok Muslim, ditambah lagi dengan konflik berkepanjangan di Afghanistan, Irak, dan Pakistan yang sedikit banyak juga dibumbui informasi tentang adanya terorisme. Dalam aspek yang lebih lunak, terjadi sejumlah marjinalisasi di Barat terhadap imigran Muslim, mulai dari pelarangan hijab di Perancis, pengetatan ketentuan imigrasi Uni Eropa, pelarangan menara mesjid di Swiss, serta berbagai tindak diskriminasi lainnya. Tentu tidak adil apabila artikel ini hanya melihat sisi langkah yang ditempuh Barat tanpa melihat fakta bahwa sebagian kecil kelompok Islam yang ada di Barat juga mengumandangkan kebencian dan mengancam stabilitas keamanan di Barat. Dengan kata lain terjadi situasi gayung bersambut dari kacamata keamanan.
Intelijen sangat jarang menghacurkan dari luar sebagaimana perang, adalah tugas utama intelijen untuk menghancurkan dari dalam. Sebagaimana terjadi dalam kasus Komando Jihad di Indonesia dahulu, dalam gerakan radikal Islam global tekniknya juga sama. Setelah prakondisi dipenuhi seluruhnya dengan puncak 9/11, maka justifikasi radikalisasi dilanjutkan di negara-negara berpenduduk Islam seperti Indonesia dengan maraknya berbagai serangan teror yang diawali dengan Bom Bali. Siapa para teroris Indonesia tersebut? mereka itulah yang dalam operasi intelijen menjadi agen utama Barat dalam merusak dan mengadu domba sesama Muslim dengan menciptakan perpecahan berdasarkan faham Jihad. Guru-guru mereka adalah sepandai Snouck Hugronje yang fasih berbahasa Arab dan pernah diterima Raja Arab Saudi sebagai akademisi ternama yang mampu melemahkan Islam di tanah jajahan Hindia Belanda.
Tampak jelas bahwa orang seperti Imam Samudra dkk memiliki keyakinan atas apa yang dilakukannya sebagai tindakan yang diridhoi Tuhan, padahal dalam strategi yang lebih besar, Imam Samudra dkk telah menjadi Agent of Influence yang luar biasa dalam proses pemantapan labeling radikal Islam di Indonesia. Hingga saat ini, tampak jelas bahwa terjadi kebingungan yang luar biasa dalam gerakan Islam garis keras di Indonesia. Kelompok FPI misalnya memilih jalan premanisme dengan pemaksaan kehendak, kelompok ABB beberapa kali berganti baju dalam merapatkan barisan jihad yang teroganisir, ada yang bersembunyi di balik gerakan pendidikan atau politik, serta berbagai manifest lainnya. Tentu saja masih ada gerakan bawah tanah yang memilih jalan teror sebagai keyakinan perjuangan untuk semakin memantapkan Islam sebagai agama teror. Pertanyaannya siapa yang diuntungkan? tentu saja ideologi demokrasi liberal yang semakin tampak mulia sebagai pilihan bersama yang disepakati.
Apakah berarti ideologi demokrasi liberal tersebut begitu buruk dan jahatnya ? Tentu tidak demikian melihatnya. Dari sisi sistem dan teori kekuasaan, sebenarnya tidak ada benar ataupun salah karena semua kembali kepada manusia pelaksanannya. Dalam Kekalifahan Islam yang Korup dan otoriter dimasa akhir Turki Usmani, tentunya kita menyaksikan keruntuhan Kalifah waktu itu lebih banyak disebabkan faktor internal dan bukan karena ajaran Islamnya. Dalam berbagai gerakan anti pemerintah di Timur Tengah dan Afrika Utara belakangan ini kita juga menyaksikan bahwa tindakan sewenang-wenang dari para diktator yang telah menyebabkan umat Islam bergerak melakukan perlawanan untuk keadilan.
Bagaimana dengan Indonesia? gerakan reformasi terjadi sebelum peristiwa 9/11, sehingga secara teori seharusnya Indonesia lepas dari isu terorisme yang dirancang sebagai perang global oleh AS. Namun ketakutan bahwa demokrasi di Indonesia akan banyak dipengaruhi oleh Politik Islam, menyebabkan dianggap perlu untuk menciptakan barriers (Penghalang) yang kuat terhadap gerakan Islam Politik, khususnya yang diilhami oleh Ikhwanul Muslimin (IM) dalam berbagai bentuknya. Sehingga terjadilah berbagai aksi teror di Indonesia yang merupakan jawaban untuk melemahkan posisi Islam sebagai ideologi untuk kekuasaan politik, hasilnya sekarang dapat kita lihat bahwa mayoritas rakyat Indonesia sebagaimana juga terjadi pada awal kemerdekaan lebih memilih faham nasionalisme dari pada agama. Lebih lanjut konsolidasi demokrasi menjadi semakin mapan. Sadar maupun tidak sadar, peranan mereka yang radikal dan menganjurkan kekerasan telah memberikan dampak menguatnya dukungan kepada demokrasi dan kebebasan.
Bagaimana kita menyikapinya? Bangsa Indonesia adalah bangsa yang luwes dan pandai menyesuaikan diri dengan perubahan. Atas pilihan-pilihan yang terjadi dalam catatan sejarah, tentunya kita perlu mengakhiri konflik internal yang disebabkan oleh ketidakmengertian akan strategi global yang menjebak setiap komponen bangsa untuk berkonflik berkepanjangan sehingga melupakan hal-hal yang lebih penting seperti mengurangi kelaparan dan kemiskinan, peningkatan pendidikan, pembangunan ekonomi yang merata, serta pembangunan jati diri kebangsaan Indonesia yang bermoral dan beragama.
Apa sesungguhnya radikalisme yg sering dikumandangkan tersebut? radix (latin) yg berarti akar menjadi inti dari makna radicalism yg secara politik kemudian diarahkan kepada setiap gerakan yang ingin merubah sistem dari akarnya. Sejarah istilah radicalism tersebut bahkan lebih banyak digunakan dalam perjalanan pertentangan politik di Barat dan sangat jarang digunakan dalam dunia agama baik Islam, Kristen maupun yg lainnya. Agama lebih mengenal istilah fanatisme atau fanaticism yang hampir identik dengan keyakinan lahir bathin atas ajaran agama yang kemudian dalam perkembangannya juga dipergunakan dalam berbagai situasi sosial maupun aliran politik.
Radikalisme hampir selalu disebabkan oleh faktor eksternal dan internal yang terjadi secara simultan sebagai faktor penentu terciptanya proses radikalisasi. Sedangkan fanatisme hampir selalu merupakan proses internal terciptanya keyakinan di dalam hati kita yang bahkan tidak terlalu membutuhkan rangsangan dari eksternal.
Mengapa saya membuka artikel kali ini dengan peristiwa 9/11, hal ini untuk menegaskan bahwa 9/11 terlepas dari siapapun dalang di belakangnya adalah faktor eksternal utama yang menyebabkan terjadinya radikalisme agama di dunia Islam. Faktor lainnya adalah konflik di Palestina, okupasi Afghanistan dan Irak serta berbagai situasi yang yang menyebabkan sebagian umat Islam hidup dalam penderitaan dan ketidakadilan. Tentu saja argumentasi ini akan dibantah dengan tuduhan bahwa justru kelompok kecil radikal Islam seperti Al-Qaeda yang memulai terjadinya proses radikalisasi dengan motto anti Barat (AS dan sekutunya) serta mendakwahkan jihad kekerasan untuk melawan Barat. Persoalan ini perlu dikembalikan kepada sumber masalahnya yakni di Afghanistan sebagai tempat percobaan berbagai alat perang guna mendukung industri pertahanan Barat serta persoalan kepentingan politik Israel yang tidak menginginkan dunia Arab yang bersatu.
Islam sebagai gerakan politik merupakan satu-satunya yang potensial menjadi alternatif di saat kemenangan ideologi demokrasi liberal atas ideologi sosialisme-komunisme berkembang ke berbagai belahan dunia. Bagaimana mengatasinya? tentu diperlukan kecerdikan tersendiri yang menyentuh hati dan pikiran manusia di dunia bukan? Agama Kristen baik Katholik maupun Prostestan telah lama dikalahkan oleh ideologi demokrasi liberal dalam wilayah kekuasaan politik, melalui proses marjinalisasi agama dan pemisahan otoritas gereja dengan otoritas negara. Akhirnya saat ini, rohaniwan Kristiani hanya duduk di pinggir arena dengan seruan-seruan moral yang bahkan diabaikan oleh semangat kemanusiaan atau nama hak asasi dimana hukum agama (Tuhan) tidak dapat diberlakukan karena manusia lebih paham dan lebih berhak mengatur dirinya sendiri dengan nilai-nilai universal. Itulah sebabnya homoseksualitas dalam artian orientasi seks menjadi hak yang asasi, itulah pula sebabnya nilai-nilai universal manusiawi tersebut saat ini sangat dominan di dunia dan tentu saja hampir semua kitab suci telah ditutup karena tidak lagi sesuai dengan tuntutan manusia modern.
Umumnya dunia Islam saat ini sedikit banyak masih berpegangan kepada nilai-nilai keagamaan baik yang tebal maupun yang tipis dipermukaan. Terdapat sejumlah prinsip yang keras yang berpotensi mengganggu propaganda demokrasi liberal misalnya masalah penegakkan hukum syariah. Oleh karena itu diperlukan agen-agen perubahan untuk memarjinalkan ajaran Islam sebagaimana pernah terjadi terhadap ajaran Kristiani. Yaitu untuk keluar dari dunia politik kekuasaan dan hanya mengurusi masalah moral.
Salah satu cara yang paling berhasil dalam sejarah adalah melalui adu domba dengan melahirkan kelompok radikal dalam dunia Islam. Siapa mereka ? yaitu kelompok awal pendukung utama jihad kekerasan yang kemudian dapat diberikan label sebagai teroris yang teramat jahat, serta para pendakwah yang menganjurkan jalan kekerasan yang akan dibenci umat manusia di dunia.
Seluruh agama yang turun di dunia ini semuannya menghadapi pembangkangan dari umat manusia yang tidak mau tunduk patuh, bahkan sejumlah orang suci atau nabi juga mati terbunuh karena sebagian manusia akan terganggu dengan dakwah mereka. Berbagai kepentingan politik telah merusak intisari ajaran agama, dan manusia sangat lihai dalam menyusun argumentasi logis untuk membuat umat manusia bingung dan akhirnya meninggalkan agama karena terlalu repot dengan urusan dunia.
Sadar ataupun tidak, kitab-kitab yang diyakini politisi modern tentang demokrasi, liberalisme, sistem sosial, dan berbagai mekanisme hubungan antar anggota masyarakat serta nilai-nilai universal telah menggantikan kitab suci agama yang dalam abad-abad sebelumnya mendominasi kehidupan manusia. Apakah hal ini berarti atheisme menang? bukan begitu arahnya karena yang saya maksud adalah pada besar-kecilnya perhatian kita kepada kitab atau buku atau ajaran yang dominan kita yakini sebagai kebenaran walaupun relatif sifatnya.
Kembali pada isu radikalisme. Seperti saya ungkapkan sebelumnya, radikalisme dirangsang baik dari faktor eksternal maupun internal yang bekerja secara simultan saling terkait mempengaruhi satu dengan lainnya. Untuk keperluan itu diperlukan agent of influence dari luar maupun dari dalam sehingga akan memancing emosi murni yang dapat diproses menjadi radikal sebagaimana terjadi dalam diri sejumlah pelaku bom bunuh diri.
Agen dari luar adalah mereka yang memancing kemarahan dalam diri seorang Muslim, misalnya George Bush Junior yang menyatakan global crusade against terrorism, secara sadar ataupun tidak telah mendorong lahirnya kembali permusuhan Islam - Kristen. Namun pada saat yang bersamaan juga mendiskreditkan istilah crusade yang dalam sejarah Kristen memiliki nama harum. Jauh sebelum 9/11, umat Islam telah menyaksikan berbagai pembantaian seperti pembantaian Sebrenica dimana 8000 Muslim laki, perempuan dan anak-anak dibantai, sementara negara-negara Barat khususnya NATO tutup mata. Di Palestina dan Lebanon berbagai aksi kekerasan Israel saling berbalas dengan kelompok Muslim, ditambah lagi dengan konflik berkepanjangan di Afghanistan, Irak, dan Pakistan yang sedikit banyak juga dibumbui informasi tentang adanya terorisme. Dalam aspek yang lebih lunak, terjadi sejumlah marjinalisasi di Barat terhadap imigran Muslim, mulai dari pelarangan hijab di Perancis, pengetatan ketentuan imigrasi Uni Eropa, pelarangan menara mesjid di Swiss, serta berbagai tindak diskriminasi lainnya. Tentu tidak adil apabila artikel ini hanya melihat sisi langkah yang ditempuh Barat tanpa melihat fakta bahwa sebagian kecil kelompok Islam yang ada di Barat juga mengumandangkan kebencian dan mengancam stabilitas keamanan di Barat. Dengan kata lain terjadi situasi gayung bersambut dari kacamata keamanan.
Intelijen sangat jarang menghacurkan dari luar sebagaimana perang, adalah tugas utama intelijen untuk menghancurkan dari dalam. Sebagaimana terjadi dalam kasus Komando Jihad di Indonesia dahulu, dalam gerakan radikal Islam global tekniknya juga sama. Setelah prakondisi dipenuhi seluruhnya dengan puncak 9/11, maka justifikasi radikalisasi dilanjutkan di negara-negara berpenduduk Islam seperti Indonesia dengan maraknya berbagai serangan teror yang diawali dengan Bom Bali. Siapa para teroris Indonesia tersebut? mereka itulah yang dalam operasi intelijen menjadi agen utama Barat dalam merusak dan mengadu domba sesama Muslim dengan menciptakan perpecahan berdasarkan faham Jihad. Guru-guru mereka adalah sepandai Snouck Hugronje yang fasih berbahasa Arab dan pernah diterima Raja Arab Saudi sebagai akademisi ternama yang mampu melemahkan Islam di tanah jajahan Hindia Belanda.
Tampak jelas bahwa orang seperti Imam Samudra dkk memiliki keyakinan atas apa yang dilakukannya sebagai tindakan yang diridhoi Tuhan, padahal dalam strategi yang lebih besar, Imam Samudra dkk telah menjadi Agent of Influence yang luar biasa dalam proses pemantapan labeling radikal Islam di Indonesia. Hingga saat ini, tampak jelas bahwa terjadi kebingungan yang luar biasa dalam gerakan Islam garis keras di Indonesia. Kelompok FPI misalnya memilih jalan premanisme dengan pemaksaan kehendak, kelompok ABB beberapa kali berganti baju dalam merapatkan barisan jihad yang teroganisir, ada yang bersembunyi di balik gerakan pendidikan atau politik, serta berbagai manifest lainnya. Tentu saja masih ada gerakan bawah tanah yang memilih jalan teror sebagai keyakinan perjuangan untuk semakin memantapkan Islam sebagai agama teror. Pertanyaannya siapa yang diuntungkan? tentu saja ideologi demokrasi liberal yang semakin tampak mulia sebagai pilihan bersama yang disepakati.
Apakah berarti ideologi demokrasi liberal tersebut begitu buruk dan jahatnya ? Tentu tidak demikian melihatnya. Dari sisi sistem dan teori kekuasaan, sebenarnya tidak ada benar ataupun salah karena semua kembali kepada manusia pelaksanannya. Dalam Kekalifahan Islam yang Korup dan otoriter dimasa akhir Turki Usmani, tentunya kita menyaksikan keruntuhan Kalifah waktu itu lebih banyak disebabkan faktor internal dan bukan karena ajaran Islamnya. Dalam berbagai gerakan anti pemerintah di Timur Tengah dan Afrika Utara belakangan ini kita juga menyaksikan bahwa tindakan sewenang-wenang dari para diktator yang telah menyebabkan umat Islam bergerak melakukan perlawanan untuk keadilan.
Bagaimana dengan Indonesia? gerakan reformasi terjadi sebelum peristiwa 9/11, sehingga secara teori seharusnya Indonesia lepas dari isu terorisme yang dirancang sebagai perang global oleh AS. Namun ketakutan bahwa demokrasi di Indonesia akan banyak dipengaruhi oleh Politik Islam, menyebabkan dianggap perlu untuk menciptakan barriers (Penghalang) yang kuat terhadap gerakan Islam Politik, khususnya yang diilhami oleh Ikhwanul Muslimin (IM) dalam berbagai bentuknya. Sehingga terjadilah berbagai aksi teror di Indonesia yang merupakan jawaban untuk melemahkan posisi Islam sebagai ideologi untuk kekuasaan politik, hasilnya sekarang dapat kita lihat bahwa mayoritas rakyat Indonesia sebagaimana juga terjadi pada awal kemerdekaan lebih memilih faham nasionalisme dari pada agama. Lebih lanjut konsolidasi demokrasi menjadi semakin mapan. Sadar maupun tidak sadar, peranan mereka yang radikal dan menganjurkan kekerasan telah memberikan dampak menguatnya dukungan kepada demokrasi dan kebebasan.
Bagaimana kita menyikapinya? Bangsa Indonesia adalah bangsa yang luwes dan pandai menyesuaikan diri dengan perubahan. Atas pilihan-pilihan yang terjadi dalam catatan sejarah, tentunya kita perlu mengakhiri konflik internal yang disebabkan oleh ketidakmengertian akan strategi global yang menjebak setiap komponen bangsa untuk berkonflik berkepanjangan sehingga melupakan hal-hal yang lebih penting seperti mengurangi kelaparan dan kemiskinan, peningkatan pendidikan, pembangunan ekonomi yang merata, serta pembangunan jati diri kebangsaan Indonesia yang bermoral dan beragama.
Sumber :
http://intelindonesia.blogspot.com/2011/06/radikalisme-fanatisme-dan-kekerasan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar