Berbicara tentang Komando Jihad, tidak bisa lepas dari gerakan NII
(DI/TII) pimpinan SM Kartosoewirjo (SMK). Karena, seluruh tokoh penting
yang terlibat di dalam gerakan Komando Jihad ini, adalah petinggi NII
(DI/TII) pimpinan SMK yang dieksekusi pada September 1962 di sebuah
pulau di Teluk Jakarta.
Boleh dibilang, gerakan Komando Jihad
merupakan salah satu bentuk petualangan politik para pengikut SMK pasca
dieksekusinya sang imam. Sebelumnya, pada Agustus 1962, seluruh warga
NII (DI/TII) yang jumlahnya mencapai ribuan orang, mendapat amnesti dari
pemerintah. Termasuk, 32 petinggi NII (DI/TII) dari sayap militer,
belum termasuk Haji Isma’il Pranoto (Hispran) dan anak buahnya, yang
baru turun gunung (menyerah kalah kepada pasukan Ali Moertopo) pada
1974.
Dari 32 petinggi NII (DI/TII) yang telah menyerah
[1] kepada pihak Soekarno tanggal 1 Agustus 1962 itu, sebagian besar menyatakan ikrar bersama, yang isinya:
[1] kepada pihak Soekarno tanggal 1 Agustus 1962 itu, sebagian besar menyatakan ikrar bersama, yang isinya:
“Demi Allah, saya akan setia kepada
Pemerintah RI dan tunduk kepada UUD RI 1945. Setia kepada Manifesto
Politik RI, Usdek, Djarek yang telah menjadi garis besar haluan politik
Negara RI. Sanggup menyerahkan tenaga dan pikiran kami guna membantu
Pemerintah RI cq alat-alat Negara RI. Selalu berusaha menjadi warga
Negara RI yang taat baik dan berguna dengan dijiwai Panca Sila.”
[2] Sebagian kecil di antara mereka tidak mau bersumpah setia, yaitu Djadja Sudjadi, Kadar Shalihat, Abdullah Munir, Kamaluzzaman, dan Sabur. Dengan adanya ikrar tersebut, maka kesetiaan mereka kepada sang Imam telah bergeser, sekaligus mengindikasikan bahwa sebagai sebuah gerakan berbasis ideologi Islam, NII (DI/TII) sudah gagal total. Dan sisa-sisa gerakan NII pada saat itu (1962) dapat dikata sudah hancur lebur basis keberadaannya.
[2] Sebagian kecil di antara mereka tidak mau bersumpah setia, yaitu Djadja Sudjadi, Kadar Shalihat, Abdullah Munir, Kamaluzzaman, dan Sabur. Dengan adanya ikrar tersebut, maka kesetiaan mereka kepada sang Imam telah bergeser, sekaligus mengindikasikan bahwa sebagai sebuah gerakan berbasis ideologi Islam, NII (DI/TII) sudah gagal total. Dan sisa-sisa gerakan NII pada saat itu (1962) dapat dikata sudah hancur lebur basis keberadaannya.
Setelah
tiga tahun vakum, ada di antara mereka yang berusaha bangkit
melanjutkan perjuangan, namun dengan meninggalkan karakter militeristik
dan mengabaikan struktur organisasi kenegaraan NII. Mereka inilah yang
meski sudah menerima amnesti namun tidak mau bersumpah-setia sebagaimana
dilakukan oleh sebagian besar mantan petinggi NII lainnya.
Gerakan
tersebut menamakan diri sebagai gerakan NII Fillah (bersifat Non
Struktural). Kepemimpinan gerakan dijalankan secara kolektif oleh Kadar
Shalihat dan Djadja Sudjadi. Munculnya kelompok Fillah atau NII non
struktural ini, ditanggapi serius oleh pihak militer NKRI. Yaitu, dengan
menciptakan “keseimbangan”, dengan cara melakukan penggalangan kepada
para mantan “mujahid” NII yang pernah diberi amnesti dan telah bersumpah
setia pada Agustus 1962 lalu.
Melalui jalur dan kebijakan
Intelijen, pihak militer memberikan santunan ekonomi sebagai bentuk
welfare approach (pendekatan kesejahteraan) kepada seluruh mantan
“mujahid” petinggi NII yang menyerah dan memilih menjadi desertir sayap
militer NII.
Nama-nama Tokoh Penting di Belakang Gerakan Komando Jihad.
Nama
Danu Mohammad Hasan
[3] yang pertama kali dipilih Ali Murtopo untuk didekati dan akhirnya berhasil dibina menjadi ‘orang’ BAKIN, pada sekitar tahun 1966-1967. Pendekatan intelijen itu sendiri secara resmi dimulai pada awal 1965, dengan menugaskan seorang perwira OPSUS bernama Aloysius Sugiyanto.
[4] Tokoh selanjutnya yang menyusul dibidik Ali Murtopo adalah Ateng Djaelani Setiawan.
[3] yang pertama kali dipilih Ali Murtopo untuk didekati dan akhirnya berhasil dibina menjadi ‘orang’ BAKIN, pada sekitar tahun 1966-1967. Pendekatan intelijen itu sendiri secara resmi dimulai pada awal 1965, dengan menugaskan seorang perwira OPSUS bernama Aloysius Sugiyanto.
[4] Tokoh selanjutnya yang menyusul dibidik Ali Murtopo adalah Ateng Djaelani Setiawan.
Tokoh lain yang diincar
Ali Murtopo dalam waktu bersamaan yang didekati Aloysius Sugiyanto
adalah Daud Beureueh mantan Gubernur Militer Daerah Istimewa ACEH tahun
1947 yang memproklamirkan diri sebagai Presiden NBA (Negara Bagian Aceh)
pada 20 September 1953, dan menyerah, kembali ke NKRI Desember tahun
1962.
Selanjutnya pendekatan terhadap para mantan petinggi sayap
militer DI-TII yang lain yang berpusat di Jawa Barat dilakukan oleh
Mayjen Ibrahim Aji, Pangdam Siliwangi saat itu.
[5] Mereka yang dianggap sebagai “petinggi NII” oleh Ibrahim Aji itu di antaranya: Adah Djaelani dan Aceng Kurnia. Kedua mantan petinggi sayap militer DI ini pada saat itu setidaknya membawahi 24-26 nama (bukan ulama NII). Sedangkan mereka yang dianggap sebagai mantan petinggi sayap sipil DI yang selanjutnya menyatakan diri sebagai NII Fillah –antara lain adalah Kadar Shalihat, Djadja Sudjadi dan Abdullah Munir dan Kamaluzzaman– membawahi puluhan ulama NII.
[5] Mereka yang dianggap sebagai “petinggi NII” oleh Ibrahim Aji itu di antaranya: Adah Djaelani dan Aceng Kurnia. Kedua mantan petinggi sayap militer DI ini pada saat itu setidaknya membawahi 24-26 nama (bukan ulama NII). Sedangkan mereka yang dianggap sebagai mantan petinggi sayap sipil DI yang selanjutnya menyatakan diri sebagai NII Fillah –antara lain adalah Kadar Shalihat, Djadja Sudjadi dan Abdullah Munir dan Kamaluzzaman– membawahi puluhan ulama NII.
Pengaruh dan Akibat Kebijakan Intelijen Ali Murtopo – ORDE BARU.
Baik
menurut kubu para mantan petinggi sayap militer maupun sayap sipil NII,
politik pendekatan pemerintah orde baru melalui Ibrahim Aji yang
menjabat Pangdam Siliwangi tersebut, sangat diterima dengan baik,
kecuali oleh beberapa pribadi yang menolak uluran pemerintah tersebut,
yaitu Djadja Sudjadi[6] dan Abdullah Munir. Para mantan tokoh sayap
militer dan sayap sipil DI selanjutnya menjadi makmur secara ekonomi.
Hampir masing-masing individu mantan tokoh DI tersebut diberi modal
cukup oleh Letkol Pitut Suharto berupa perusahaan CV (menjadi
kontraktor) dilibatkan dalam proyek Inpres, SPBU atau agen Minyak Tanah.
Kebijakan
OPSUS dan Intelijen selanjutnya menggelar konspirasi dengan meminta
para mantan laskar NII tersebut mengkonsolidasikan kekuatan melalui
reorganisasi NII ke seluruh Jawa dan Sumatra. Pada saat itu Ali Murtopo
masih menjabat Aspri Presiden selanjutnya menjadi Deputi Operasi Ka
BAKIN dan merangkap Komandan OPSUS ketika mendekati detik-detik
digelarnya ‘opera’ konspirasi dan rekayasa operasi intelijen dengan
sandi: “Komando Jihad” di Jawa Timur.
Dalam waktu yang bersamaan
Soeharto menyiapkan Renstra (Rencana Strategis) Hankam (1974-1978)
sebagaimana dilakukan ABRI secara sangat terorganisir dan sistematis
melalui penyiapan 420 kompi satuan operasional, 245 Kodim sebagai aparat
teritorial dan 1300 Koramil sebagai ujung tombak intelijen dalam gelar
operasi keamanan dalam negeri yang diberi sandi Opstib dan Opsus.
Sementara,
pada saat yang bersamaan di tahun 1971-1973 tersebut Ali Murtopo juga
melindungi sekaligus menggarap Nurhasan al-Ubaidah Imam kelompok Islam
Jama’ah yang secara kelembagaan telah dinyatakan sesat dan terlarang
oleh Kejaksaan Agung tahun 1971, namun pada waktu yang sama justru
dipelihara serta diberi kesempatan seluas-luasnya melanjutkan kiprahnya
dengan missi menyesatkan ummat Islam melalui lembaga baru LEMKARI
(Lembaga Karyawan Islam) di bawah naungan bendera Golkar dan berganti
nama menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yang berlanjut hingga
sekarang.
Dari sinilah pendekatan itu berkembang menjadi makin
serius dan signifikan, ketika Ali Murtopo mengajukan ide tentang
pembentukan dan pembangunan kembali kekuatan NII, guna menghadapi bahaya
laten komunis dari utara maupun dalam rangka mengambil alih kekuasaan.
Ide Ali Murtopo ini selanjutnya diolah Danu Mohammad Hasan dan dipandu
Letkol Pitut Suharto, disambut Dodo Muhammad Darda, Tahmid Rahmat Basuki
(anak SMK) dan H.Isma’il Pranoto (Hispran).
Keberadaan dan latar
belakang Letkol Pitut Suharto yang memiliki kedekatan hubungan pribadi
dengan Andi Sele di Makassar, juga dengan H. Rasyidi [7] di Gresik Jawa
Timur, pada tahun 1968 akhirnya ditugaskan Ali Murtopo untuk mengolah
hubungan dan keberadaan para mantan petinggi NII yang sudah dirintisnya
sejak 1965 tersebut dengan kepentingan membelah mereka menjadi 2 faksi.
Faksi
pertama diformat menjadi moderat untuk memperkuat Golkar, dan faksi
kedua diformat bagi kebangkitan kembali organisasi Neo NII.
Keterlibatan
Pitut Suharto yang akhirnya dinaikkan pangkatnya menjadi pejabat Dir
Opsus di bawah Deputi III BAKIN terus berlanjut, Pitut tidak saja
bertugas untuk memantau aktifitas para mantan tokoh DI tersebut, tetapi
Pitut sudah terlibat aktif menyusun berbagai rencana dan program bagi
kebangkitan NII, baik secara organisasi maupun secara politik termasuk
aksi gerakannya.
Ketika BAKIN membuat program pemberangkatan atau
pengiriman pemuda (aktifis kader) Indonesia ke Timur Tengah –seperti
Mesir, Syria, Libya dan Saudi Arabia yang diantara alumnnya kemudian
terkait dengan konflik Moro (MNLF) dan kelompok perlawanan Aceh– Pitut
Suharto-lah yang ditunjuk Ali Murtopo untuk mengelola (membimbing,
memantau, mengurus dan menyelesaikan) masalah tersebut, sekalipun
keberangkatan para kader aktifis Indonesia ke Negara-negara Timur Tengah
tersebut terbukti hanya untuk mempelajari pola-pola gerakan Islam di
sana, sembari mempelajari syari’ah sebagai cover, dan melakukan
pelatihan militer.
Tetapi antisipasi yang dilakukan pihak
pemerintah Indonesia pada saat itu terlampau maju dan cepat, sekitar
tahun 1975 keberadaan kedutaan Libya di Jakarta dipaksa tutup. Tetapi
skenario Opsus terhadap kebangkitan organisasi NII terus digelindingkan.
Bahkan Pitut Suharto (pihak intelijen/orde baru) justru menggunakan isu
politik Libya di mata Barat dan bangkitnya NII tersebut dijadikan
sebagai isu sentral terkait dengan “bahaya laten kekuatan ekstrim kanan”
di Indonesia.
Kebijakan Abbuse of Power Intelijen Ali Murtopo.
Bersamaan
dengan kebijakan itu (memanfaatkan situasi politik terhadap Libya
tersebut) strategi Opsus yang dilancarkan melalui Pitut Suharto berhasil
meyakinkan para Neo NII tersebut untuk sesegera mungkin menyusun
gerakan jihad yang terkonsentrasi di Jawa dan Sumatra untuk melawan dan
merebut kekuasaan Soeharto. Semakin cepat hal tersebut dilaksanakan
semakin berprospek mendapat bantuan persenjataan dari Libya, yang sudah
diatur Ali Murtopo.
Berkat panduan Letnan Kolonel TNI AD Pitut
Suharto[8] kegiatan musyawarah dalam rangka reorganisasi NII yang
meliputi Jawa-Sumatra tersebut berlangsung beberapa hari, hal itu justru
dilaksanakan di markas BAKIN jalan Senopati, Jakarta Selatan. Di
sinilah situasi dan kondisi (hasil rekayasa BAKIN-Ali Murtopo dan Pitut
Suharto melalui kubu Neo NII Sabilillah di bawah Daud Beureueh, Danu
Mohammad Hasan, Adah Djaelani, Hispran dkk) berhasil didesakkan kepada
kubu Fillah yang dipimpin secara kolektif oleh Djaja Sudjadi, Kadar
Shalihat dan Abdullah Munir dkk untuk memilih kepemimpinan.
Hasil
musyawarah kedua kubu (Fillah dan Sabilillah ini) yang dilakukan pada
tahun 1976 ini menetapkan, kepemimpinan NII diserahkan kepada Tengku
Daud Beureueh sekaligus membentuk struktur organisasi pemerintahan Neo
NII yang terdiri dari Kementrian dan Komando kewilayahan (dari
Komandemen Wilayah hingga Komandemen Distrik dan Kecamatan) namun tanpa
dilengkapi dengan Majelis Syura maupun Dewan Syura.
Provokasi dan
jebakan OPSUS terhadap para mantan tokoh DI berhasil, Struktur
organisasi NII kepemimpinan Daud Beureueh berdiri dan berlangsung di
bawah kendali Ali Murtopo yang saat itu menjabat sebagai Deputi Operasi
Ka BAKIN melalui Kolonel Pitut Suharto.
Gerakan dakwah agitasi dan
provokasi neo NII Sabilillah disponsori Pitut Suharto dan Ali Murtopo
mulai berkembang ke seantero pulau Jawa. Muatan dakwah, agitasi dan
provokasi para tokoh Neo NII bentukan Ali Murtopo-Pitut Suharto hanya
berkisar seputar pentingnya struktur organisasi NII secara riil.
Karenanya
kegiatan seluruh anggota kabinet Neo NII adalah melakukan rekrutmen
melalui pembai’atan secepatnya untuk mengisi posisi pada struktur
wilayah (Gubernur sekaligus sebagai Pangdam = Komandemen Wilayah) dan
posisi pada struktur Distrik (Bupati sekaligus sebagai Kodim =
Komandemen Distrik) seraya menebar janji akan segera memperoleh supply
persenjataan dari Libya sebanyak satu kapal[9] yang akan mendarat di
pantai selatan Pulau Jawa.
Sasaran rekrutmen (pembai’atan)
dilakukan hanya sebatas mengisi posisi pada komandemen distrik struktur
Neo NII, maka sasaran rekrutmen dipilih secara tidak selektif di
antaranya adalah para tokoh pemuda Islam dan ulama atau kiai yang nota
bene sangat awam politik maupun organisasi.
Tugas rekrutmen untuk
Jawa Tengah dan Jawa Timur dilakukan oleh H. Isma’il Pranoto dan H.
Husein Ahmad Salikun. Di Jawa Timur aktifitas rekrutmen bagi kebangkitan
Neo NII yang dilakukan oleh H. Isma’il Pranoto tersebut sama sekali
tidak terlihat ada tindak lanjut apapun, baik yang berbentuk pelatihan
manajemen dakwah dan organisasi maupun yang bersifat fisik baris
berbaris, menggunakan senjata atau merakit bom. Tetapi hanya terhitung
selang sebulan atau dua bulan kemudian, aparat keamanan dari Laksus
tingkat Kodam, Korem dan Kodim menggulung dan menyiksa mereka tanpa
ampun.
Jumlah korban penangkapan oleh pihak Laksusda Jatim yang
digelar pada tanggal 6-7 Januari 1977 terhadap para rekrutan baru H.
Isma’il Pranoto mencapai sekitar 41 orang, 24 orang di antaranya
diproses hingga sampai ke pengadilan.
H. Ismail Pranoto divonis
Seumur Hidup, sementara para rekrutan Hispran yang juga disebut sebagai
para pejabat daerah struktur Neo NII tersebut, baru diajukan ke
persidangan pada tahun 1982, setelah “disimpan” dalam tahanan militer
selama 5 tahun, dengan vonis hukuman yang bervariasi. Ada yang divonis
16 tahun, 15 tahun, 14 tahun hingga paling ringan 6 tahun penjara.
H.
Ismail Pranoto disidangkan perkaranya di Pengadilan Negeri Surabaya
tahun 1978 dengan memberlakukan UU Subversif PNPS No 11 TH 1963 atas
tekanan Pangdam VIII Brawijaya saat itu, Mayjen TNI-AD Witarmin[10].
Sejak itulah UU Subversif ini digunakan sebagai senjata utama untuk
menangani semua kasus yang bernuansa makar dari kalangan Islam.
Nama
Komando Jihad sendiri menurut H. Isma’il Pranoto merupakan tuduhan dan
hasil pemberkasan pihak OPSUS, baik pusat maupun daerah (atas ide Ali
Murtopo dan Pitut Suharto). Sementara penyebutan yang berlaku dalam
tahanan militer Kodam VIII Brawijaya – ASTUNTERMIL di KOBLEN Surabaya,
mereka dijuluki sebagai jaringan Kasus Teror Warman (KTW).
Sementara
keberadaan Pitut Suharto sendiri sejak tanggal 6 Januari 1977 – saat
dimulainya penangkapan terhadap H. Isma’il Pranoto dan orang-orang yang
direkrutnya sebagai kelompok Komando Jihad– Pitut justru pergi
menyelamatkan diri dengan menetap di Jerman Barat, dan baru kembali ke
Indonesia setelah 6 atau 7 tahun kemudian.
Di Jawa Tengah sendiri
aksi penangkapan terhadap anggota Neo NII rekrutan H. Isma’il Pranoto
dan H. Husen Ahmad Salikun oleh OPSUS, seperti Abdullah Sungkar maupun
Abu Bakar Ba’asyir dan kawan-kawan berjumlah cukup banyak, sekitar 50
orang, akan tetapi yang diproses hingga sampai ke pengadilan hanya
sekitar 29 orang. Penangkapan terhadap anggota Neo NII wilayah Jawa
Tengah rekrutan H. Isma’il Pranoto dan H. Husen Ahmad Salikun
berlangsung tahun 1978-1979.
Di Sumatera, aksi penangkapan secara
besar-besaran berdasarkan isu Komando Jihad ini terjadi sepanjang tahun
1976 hingga tahun 1980, dan berhasil menjaring dan memenjarakan ribuan
orang.
Sementara penangkapan terhadap para elite Neo NII –yang
musyawarah pembentukan strukturnya dilakukan di markas BAKIN (jalan
Senopati, Jakarta Selatan)– seperti Adah Djaelani Tirtapradja, Danu
Mohammad Hasan, Aceng Kurnia, Tahmid Rahmat Basuki Kartosoewirjo, Dodo
Muhammad Darda Toha Mahfudzh, Opa Musthapa, Ules Suja’i, Saiful Iman,
Djarul Alam, Seno alias Basyar, Helmi Aminuddin Danu[11], Hidayat,
Gustam Effendi (alias Ony), Abdul Rasyid dan yang lain dengan jumlah
sekitar 200 orang, mereka ditangkap Laksus sejak akhir 1980 hingga
pertengahan 1981.
Namun dari sekitar 200 orang anggota Neo NII
yang ditangkap OPSUS tersebut, hanya sekitar 30 elitenya saja yang
dilanjutkan ke persidangan, selebihnya dibebaskan bersyarat oleh OPSUS
termasuk beberapa nama yang menjadi tokoh komando KW-9 [12], kecuali
satu nama tokoh yang dibebaskan tanpa syarat, yaitu Menlu kabinet Neo
NII yang bernama Helmi Aminuddin bin Danu, salah seorang alumni program
pemberangkatan atau pengiriman pemuda (aktifis kader) Indonesia ke Timur
Tengah (Madinah, Saudi Arabia) oleh Bakin.
Akan tetapi isu dan
dalih keterkaitan dengan bahaya kebangkitan NII, Komando Jihad dan Teror
Warman berdasarkan hasil pengembangan penyidikan pihak keamanan
terhadap mereka yang pernah ditangkap maupun yang diproses ke
pengadilan, oleh pihak OPSUS digunakan terus untuk melakukan
penangkapan-penangkapan secara berkelanjutan dan konsisten.
Sekitar
medio 1980 OPSUS Jawa Timur melakukan penangkapan terhadap 5 tokoh
pelanjut Komandemen Wilayah Jawa Timur, Idris Darmin Prawiranegara.
Kemudian dilanjutkan dengan penangkapan berikutnya pada medio 1982,
terhadap orang-orang baru yang direkrut Idris Darmin di wilayah jawa
timur dengan jumlah sekitar 26 orang.
Kesimpulan
Secara
substansi, makna kebangkitan Neo NII yang lahir dibidani dan buah karya
operasi intelijen OPSUS tersebut, sangat tidak layak untuk dinilai dan
atau diatasnamakan sebagai wujud perjuangan politik berbasis ideologi
Islam (apalagi sampai dikategorikan sebagai jihad suci fii sabilillah).
Misi
dan orientasi kiprah gerakan reorganisasi yang dilakukan para mantan
tokoh sayap militer NII tersebut adalah lebih didorong oleh dan dalam
rangka memperoleh materi dan kedudukan politis, kemudian
bertemu-bekerjasama (bersimbiosis mutualistis) dengan para tokoh
intelijen BAKIN yang benci terhadap Islam. Dengan demikian gerakan
Komando Jihad, Kebangkitan Neo NII maupun para mantan tokoh sayap
militer DI tersebut sulit dinilai sebagai perjuangan yang murni untuk
tegaknya Islam.
Perjuangan dan usaha para pihak atau pribadi yang dilakukan karena semangat dan ketulusan untuk memperjuangkan Islam, yang tidak didorong dalam rangka memperoleh jabatan politis atau sarana materi sebagaimana halnya sikap dan tindakan para mantan tokoh sayap sipil DI tersebut, menunjukkan posisi mereka sebagai korban pengkhianatan para mantan tokoh sayap militer DI sendiri dalam berpolitik.
Seluruh bentuk kerugian atau efek negatif yang menimpa
masyarakat Neo NII adalah karena provokasi dan agitasi para mantan
tokoh sayap militer DI, yang secara sadar dan sukarela menyetujui dan
mendukung kebijakan intelijen OPSUS (orde baru). Oleh karenanya
merekalah yang harus bertanggungjawab atas hancurnya gerakan dakwah
Islam dan citra negatif citra negatif dakwah. Dalam hal ini, ada tiga
pihak yang harus bertanggung jawab :
Pihak ke I adalah aparat
teritorial pemerintah Orde Baru, mulai dari tingkat Kodim, Korem hingga
Kodam yang pada masa itu disebut sebagai aparat Laksusda (DanSatgas
Intel atau Intel Balak = Intelijen Badan Pelaksana) yang bertugas
melakukan penangkapan, penyiksaan hingga pemberkasan terhadap jaringan
gerakan Islam (Neo NII, Komando Jihad, Teror Warman, Teror Imran* dan
Usrah) yang menjadi target obyek operasi intelijen. Pihak berikutnya
adalah para pemrakarsa, pembuat skenario dan sutradara dari operasi
intelijen yang dirancang oleh sayap intelijen yang berkuasa penuh di
bawah struktur Kopkamtib.
Pihak ke I bisa juga disebut sebagai
kekuatan bayangan dari struktur kekuasaan yang ada saat itu namun
diformat memiliki kewenangan penuh untuk merancang program, mekanisme
dan pengelolaan (mengendalikan) terhadap perjalanan sistem politik,
ekonomi dan pemerintahan yang berlaku. Pihak ke I sangat dimungkinkan
untuk melakukan kerjasama dan menerima order, baik dari penguasa
domestik maupun asing, mengingat hukum Politik, kepentingan kekuasaan
dan intelijen selalu mengglobal, sesuai peta dan kubu ideologi yang
eksis di dunia atau berlaku universal.
Oleh karena itu pihak ke I
diberi kewenangan luar bisa, baik dalam menyusun grand ‘scenario’ hingga
tingkat pelaksanaan (juklak) yang dilakukan secara rahasia dan rapi,
selanjutnya dikordinasikan penerapan aturan mainnya dengan lemhannas dan
departemen-departemen maupun kementrian. Dengan demikian tugas, peran
dan keberadaan pihak ke I menurut garis besar haluan negara merupakan
hal yang legal dan wajar, sekalipun untuk kepentingan itu harus
mengorbankan apa saja (abuse of power: terhadap demokrasi dan HAM) atau
membuat sandiwara dan rekayasa apa saja. Itulah hukum yang berlaku dalam
dunia politik, kepentingan kekuasaan dan intelejen.
Selanjutnya,
pihak ke I lainnya adalah mereka yang menjadi inisiator membangkitkan
neo NII, dalam rangka memberikan stigma negative terhadap umat Islam,
menciptakan beban psikologis kepada umat Islam Indonesia yang hingga
kini diposisikan sebagai produsen gerakan radikal bahkan pelaku teror.
Sebagai aparat negara seharusnya mereka menggali potensi rakyat dan
memberdayakan potensi tersebut ke tempat semestinya, bukan justru
dijadikan instrumen politik untuk menggapai kekuasaan dan atau
mempertahankan kekuasaan.
- Pihak ke II adalah pihak yang secara
sengaja dan sadar menjalin hubungan dengan pihak ke I, yang dikenal dan
dipahami sebagai pejabat intelejen militer sekaligus sebagai pejabat
pemerintah dan Negara yang licik dan kejam.
- Pihak ke III, adalah
orang-orang yang bersedia direkrut dan memposisikan dirinya sebagai
pihak yang secara sadar telah terdorong dan termotivasi untuk berjihad
secara ikhlas di jalan Islam namun terperosok dan terlanjur masuk ke
dalam struktur gerakan Neo NII. Posisi mereka adalah sebagai korban tak
sadar dari abuse of Power, sistem dan kebijakan politik maupun intelejen
Orde Baru.
Keterangan Tambahan Mengenai Teror Imran:
Munculnya
kasus Jama’ah Imran pada pertengahan tahun 1980 berlangsung melalui
proses yang berdiri sendiri. Dalam artian, tidak ada keterkaitan dan
tidak ada hubungan –baik secara ideologi maupun sikap politik– dengan
eksistensi gerakan Neo NII atau Komando Jihad dan Teror Warman.
Memang
sempat terjadi “interaksi” antara anggota Jama’ah Imran dengan beberapa
elite KW-9 (Komandemen Wilayah 9) dalam struktur Neo NII atau Komando
Jihad hasil ciptaan Ali Murtopo dan Pitut Suharto tersebut.
Bentuk
“interaksi” yang terjadi pada akhir 1980-an itu, bukanlah “interaksi”
yang kooperatif tetapi justru saling kecam dan saling ancam. Hal ini
terjadi, karena H.M. Subari (alm) yang merupakan elite (orang struktur)
Neo NII KW-9 pernah mengatakan, “dalam satu wilayah tidak boleh ada 2
Jama’ah dan 2 Imam yang berlangsung secara bersamaan, kecuali salah
satunya harus dibunuh.”
Footnote :
- Padahal, amanat/wasiat sang imam (SMK) adalah tidak boleh menyerah.
- Rahmat Gumilar Nataprawira, RUNISI (Rujukan Negara Islam Indonesia).
Dipertegas juga oleh pernyataan lisan dari Abdullah Munir dan tertulis
dari Abdul Fatah Wirananggapati (pemegang amanah KUKT dari SMK 1953).
- Mantan Panglima Divisi atau Komandan Resimen DI-TII, pada saat sidang
pengadilan Militer – MAHADPER, Agustus 1962 mengaku salah dan memberi
kesaksian yang isinya menyalahkan sikap dan kebijakan politik SM
Kartosoewiryo. Hubungan ini kemudian memberi OPSUS buah menguntungkan
yang tidak disangka-sangka. “Saya berperan sebagai petugas pengawas
Danu,” kenang Sugiyanto, “dan di bulan Maret 1966, kami menggunakan dia
dan anak buahnya untuk memburu anggota BPI yang sedang bersembunyi di
Jakarta.” Selanjutnya sejak tahun 1971, Danu Muhammad Hasan dan Daud
Beureueh sering terlihat di jalan Raden Saleh 24 Jakarta Pusat (salah
satu kantor Ali Murtopo), terkadang di Jalan Senopati (Kantor BAKIN),
ada kalanya di Tanah Abang III (Kantor CSIS).
- Menurut Sugiyanto
hubungan ini kemudian memberi OPSUS bunga menguntungkan yang tidak
disangka-sangka. “Saya berperan sebagai petugas pengawas Danu,” kenang
Sugiyanto, “dan di bulan Maret 1966, kami menggunakan dia dan anak
buahnya untuk memburu anggota BPI yang sedang bersembunyi di Jakarta.”
(lebih jelasnya lihat Kenneth Conboy, Intel: Inside Indonesia’s
Inteligence Services).
- Seperti pengakuan Ules Suja’i: “Soal pak
Adah yang santer diisukan menerima jatah minyak dari militer, memang
dulu itu saya tahu pak Adah pernah menerima jatah minyak dan oli dari
RPKAD (KOPASSUS sekarang, pen), karena setiap pasukan itu kan memiliki
jatah dari Pertamina, nah oleh RPKAD jatah tersebut diberikan ke pak
Adah. Itu mah lewat perjuangan. Saya sendiri dengan pak Adah memang
pernah dipanggil oleh Ibrahim Aji mendapat surat supaya dibantu oleh
Pertamina lalu masuk ke Pertamina pusat jawabannya kurang memuaskan,
malah kalau saya sendiri sampai ke WAPERDAM sampai ketemu Khaerus
Shaleh, ya Alhamdulillah berhasil.”
- Djadja Sudjadi akhirnya tewas
dibunuh Ki Empon atas perintah Adah Djaelani. Ironisnya, hingga akhir
hayatnya Ki Empon meninggal dalam keadaan miskin dan serba susah
sedangkan Adah Djaelani hidup terpandang dan lumayan sejahtera sebagai
petinggi yang lebih dihormati dari AS Panji Gumilang di lingkungan mabes
NII di Ma’had Al-Zaytun, Indramayu.
- H. Rasyidi, adalah bapak
kandung Abdul Salam alias Abu Toto alias Syaikh A.S. Panji Gumilang,
yang kini menjadi syaikhul Ma’had Al-Zaytun yang dikenal sebagai “mabes”
NII yang kental dengan nuansa misteri intelejen. Abu Toto alias Abdul
Salam Panji Gumilang sendiri sejak mahasiswa menjadi kader intelejen
kesayangan Pitut Suharto.
- Pitut Suharto pensiun dengan pangkat Kolonel, kini berdomisili di Surabaya.
- Janji serupa ini juga berulang pada diri Nur Hidayat, provokator kasus
Lampung (Talangsari) yang terjadi Februari 1989. Nur Hidayat dkk ketika
itu yakin sekali bahwa rencana makarnya pasti berhasil karena akan
mendapat bantuan senjata satu kapal yang akan mendarat di Bakauheni,
Lampung.
- Witarmin, menurut penuturan H Isma’il Pranoto di masa
pergolakan DI-TII adalah sebagai komandan Batalyon 507 Sikatan yang
sempat dilucuti oleh pasukan TII di bawah komando H. Ismail Pranoto.
- Helmi Aminuddin adalah putera Danu Mohammad Hasan, alumni Universitas
Madinah, yang dikirim Bakin ke Saudi Arabia dalam Program pemberangkatan
para pemuda ke Timur Tengah, yang ketika kembali ke Indonesia aktive
dalam pergerakan.
- Pada tahun 1984, para para elite NII Komandemen Wilayah IX (yang ditangkap OPSUS pada pertengahan tahun 1980 hingga pertengahan tahun 1981, bersama dengan para pimpinan Neo NII, Adah Djaelani-Aceng Kurnia) dibebaskan bersyarat dari Rumah tahanan militer Cimanggis, tanpa melalui proses hukum (Pengadilan), mereka itu adalah: Fahrur Razi, Royanuddin, Abdur Rasyid, Muhammad Subari, Ahmad Soemargono, Amir, Ali Syahbana, Abdul Karim Hasan, Abidin, Nurdin Yahya dan Muhammad Rais Ahmad, dan Anshory; kecuali Helmi Aminuddin bin Danu M Hasan yang dibebaskan tanpa syarat.
Referensi:
Dengel,Holk H., Darul Islam dan Kartosuwiryo (terj.), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Jackson, Karl D., Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989.
Kansil, C.S.T. dan Julianto S.A., Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1982.
Kuntowidjojo, Dinamika Sejarah Perjuangan Umat Islam Indonesia, Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985.
Van Dijk, C. Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (terj.), Jakarta: Pustaka Grafiti Utama, 1989.
Horikoshi, Hiroko, “The Darul Islam Movement in West Java : An Experience in Historical Process”, Indonesia, Nr.20, 1975.
Simatupang, T.B. dan Lapian, “Pemberontakan di Indonesia: Mengapa dan Untuk Apa”, Prisma, 1978.
Basri, Jusmar, Gerakan Operasi Militer VI: Untuk Menumpas DI-TII di Jawa Tengah, Jakarta: Mega Bookstore dan Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata SAB., n.d.
Dinas Sejarah Militer TNI-AD, Penumpasan Pemberontakan DI-TII/SMK di Jawa Barat, Bandung: Dinas Sejarah TNI-AD.
Komando Daerah Militer VII Diponegoro, Staf Umum I, Bahan Perang Urat Syaraf Terhadap Gerombolan D.I. Kartosuwirjo.
Wawancara dengan beberapa tokoh terkait peristiwa Komando Jihad.
Jackson, Karl D., Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989.
Kansil, C.S.T. dan Julianto S.A., Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1982.
Kuntowidjojo, Dinamika Sejarah Perjuangan Umat Islam Indonesia, Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985.
Van Dijk, C. Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (terj.), Jakarta: Pustaka Grafiti Utama, 1989.
Horikoshi, Hiroko, “The Darul Islam Movement in West Java : An Experience in Historical Process”, Indonesia, Nr.20, 1975.
Simatupang, T.B. dan Lapian, “Pemberontakan di Indonesia: Mengapa dan Untuk Apa”, Prisma, 1978.
Basri, Jusmar, Gerakan Operasi Militer VI: Untuk Menumpas DI-TII di Jawa Tengah, Jakarta: Mega Bookstore dan Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata SAB., n.d.
Dinas Sejarah Militer TNI-AD, Penumpasan Pemberontakan DI-TII/SMK di Jawa Barat, Bandung: Dinas Sejarah TNI-AD.
Komando Daerah Militer VII Diponegoro, Staf Umum I, Bahan Perang Urat Syaraf Terhadap Gerombolan D.I. Kartosuwirjo.
Wawancara dengan beberapa tokoh terkait peristiwa Komando Jihad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar