Haruskah Mengkambinghitamkan Intelijen ?
Oleh: Mayor (Inf) Agus Bhakti, Anggota Dewan Penasehat Harian TANDEF“Apa yang sama sekali kamu tahu, sebenarnya kamu tidak mengetahuinya. Apa yang kamu lihat, dengar, tidak ada yang sesuai dengan kenyataannya.”
Beberapa waktu lalu kita begitu dikejutkan dengan terjadinya kembali
ledakan bom pada tanggal 17 Juli 2009 secara hampir bersamaan di Hotel
Marriott dan Ritz Carlton. Kejadian ini begitu mengejutkan karena selain
telah menewaskan 9 orang dan melukai 52 orang lainnya, tercatat bahwa
terjadinya teror bom terakhir adalah + 4 tahun yang lalu pada tanggal 31
Desember 2005 di Palu yang menewaskan 8 orang dan melukai sedikitnya 45
orang. Kurun waktu yang cukup lama mengingat 4 tahun dalam kondisi yang
relatif aman dibandingkan kurun waktu tahun 2000 s/d 2005 yang marak
dengan teror bom. Reaksipun bermunculan, dari mulai yang bersimpati
kepada korban, kebencian yang mendalam terhadap teroris, solidaritas
nasional untuk memerangi terorisme sampai dengan “pengkambinghitaman”
individu maupun institusi.
“Diplomacy is the first line of the defense but intelligence…is the first and the last line of the defense”.
Ungkapan ini menunjukkan betapa pentingnya peran dan fungsi intelijen.
Dikaitkan dengan potensi ancaman yang semakin multidimensional,
sangatlah riskan bagi suatu negara apabila terjadi kegagalan fungsi
intelijen. James Douglas Clayton, ahli komputer yang menciptakan
software nirkabel Spartacus yang diperankan oleh Collin Farrel dalam
film “Recruit” tahun 2004 menyampaikan asumsinya
tentang CIA ketika ditemui oleh ahli perekrutan CIA Walter Burke (Al
Pacino) : “CIA adalah hanya sekelompok pria kulit putih gemuk yang
tertidur saat kita memerlukan mereka.” Yang dijawab oleh Walter Burke :
“Apa yang sama sekali kamu tahu, sebenarnya kamu tidak mengetahuinya.
Apa yang kamu lihat, dengar, tidak ada yang sesuai dengan kenyataannya.”
Dialog yang cukup representatif untuk memberikan gambaran mengenai
tugas-tugas aparat intelijen. Sangat sering kita dengar tentang opini
yang negatif terhadap kinerja aparat intelijen seperti ungkapan
intelijen lemah, intelijen tumpul, intelijen kecolongan bahkan intelijen
dianggap biang jika terjadi tindak terorisme1. Hal yang lumrah dan
sesuai dengan motto intelijen “berhasil tidak dipuji, gagal dicaci maki,
hilang tidak dicari dan matipun tidak diakui”, walaupun motto ini tidak
berlaku untuk pembenaran atas gagalnya fungsi intelijen.
Intelijen adalah informasi yang dihargai atas ketepatan waktu dan
relevansinya, bukan detil dan keakuratannya, berbeda dengan “data”, yang
berupa informasi yang akurat, atau “fakta” yang merupakan informasi
yang telah diverifikasi2. Kegagalan fungsi intelijen juga pernah terjadi
di negara maju seperti Amerika Serikat yang terkejut-kejut ketika
secara tiba-tiba AU Jepang menyerang Pearl Harbour pada 7 Desember 1941,
Israel yang sedang merayakan hari raya Yom Kippur juga diserang
tiba-tiba oleh pasukan koalisi pimpinan Suriah dan Mesir pada 6 Oktober
1973 atau yang paling aktual adalah serangan teroris terhadap WTC oleh
Osama bin Laden pada 11 September 2001. Sebenarnya sangat banyak faktor
yang bisa mempengaruhi suatu kegagalan intelijen. Ibarat pepatah
mengatakan, orang yang pesimis akan memandang sebuah gelas terisi air
setengahnya dengan mengatakan “setengah kosong”, sebaliknya orang yang
optimis memandangnya dengan mengatakan “setengah penuh”.
- Dari sudut pandang kegagalan / keberhasilan intelijen, intelijen selalu dicaci jika mengalami kegagalan dan tidak pernah dipuji jika berhasil. Mengapa? Cara pandang orang terhadap kegagalan dan keberhasilan intelijen itu berbeda-beda. User intelijen pun belum tentu memiliki tolok ukur yang jelas, kapan intelijen dikatakan berhasil atau gagal. Sebagai ilustrasi, apabila negara selalu dalam keadaan aman, damai dan sentosa, apakah pernah itu dikatakan sebagai suatu keberhasilan intelijen? Tidak pernah. Tapi apakah intelijen tidak berperan dalam menciptakan kondisi aman tersebut?
- Dari sudut pandang roda perputaran intelijen, aparat intelijen bertugas untuk merencanakan pengumpulan informasi, melaksanakan pengumpulan informasi dan mengolahnya sehingga bisa disajikan sebagai informasi yang valid dan aktual bagi sang pengguna/user. Persoalan muncul ketika, user tidak bisa mengimplementasikan dengan baik semua temuan intelijen itu menjadi kebijakan yang cukup mengakomodir upaya dalam mengatasi permasalahan terkait temuan intelijen tersebut. Banyak faktor yang mempengaruhinya, seperti miskomunikasi, intervensi kepentingan, pilihan prioritas kebijakan, dll. Semuanya tumpah ruah menjadi kompleksitas permasalahan. Dan apabila meledak dengan munculnya satu kasus yang besar, kembali intel akan dijadikan sebagai kambing hitam.
- Dari sudut pandang aparat intel itu sendiri, dikenal istilah intelijen dasar, intelijen aktual dan intelijen ramalan. Informasi dalam lingkup besar merupakan sempalan dari informasi-informasi yang berlingkup kecil. Informasi tersebut didapat pada waktu yang telah lalu maupun pada saat sekarang. Semuanya harus bisa dirangkum menjadi suatu analisa untuk memprediksikan kejadian di masa mendatang. “Estimating is what you do when you do not know but it is inherent in many situations that after reading the estimate we still not know…and we always have to do that”3. Hal ini bisa disebabkan karena kekurangan akses data/informasi, kalaupun akses data dari informan ada tapi selalu berpacu dengan waktu untuk mendapatkan informasi yang aktual. Terlambat sedikit maka basilah informasi tersebut. Ini menjadi tantangan besar bagi aparat intelijen di lapangan dalam mengolah analisa informasi yang diinginkan user. Tetapi pada dasarnya intelijen ramalan bukanlah laporan yang mengada-ada saja.
- Dari sudut pandang pendanaan, memang cukup berpengaruh, akan tetapi intelijen itu ibarat kepemimpinan, “an art and science”, bahkan mungkin lebih banyak seninya. Tanpa bermaksud mengenyampingkan masalah pendanaan, banyak masalah yang sebenarnya bisa diatasi dengan kreasi dan inovasi di lapangan. Tidak semua agen/informan di lapangan bermotifkan materi dan tidak selalu keberhasilan operasi intelijen diukur dengan besarnya pendanaan.
Di Indonesia kita mengenal adanya beberapa badan intelijen. Seperti
BIN sebagai badan intelijen nasional yang berkedudukan secara langsung
di bawah presiden dan memiliki wewenang untuk mengkoordinasikan kegiatan
komunitas intelijen. Baintelkam Polri yang bertugas menyelenggarkan
fungsi intelijen bidang keamanan dan berkompeten secara langsung dalam
penumpasan terorisme. BAIS TNI yang merupakan badan intelijen militer di
bawah Mabes TNI yang bertugas menyediakan analisis-analisis strategis
aktual di bidang pertahanan. Depdagripun memiliki unsur-unsur intelijen
yang bernaung di bawah Rakominda yang bertugas mengumpulkan informasi
tentang seluk-beluk permasalahan di masyarakat maupun organisasi lainnya
di bawah Dirjen Kesbangpol. Selain itu, terdapat juga instansi yang
tidak menggunakan label sebagai badan intelijen tetapi juga berperan
dalam fungsi intelijen seperti imigrasi, bea cukai dan kejaksaan.
Keragaman instansi tersebut tentunya sudah disertai spesifikasi fungsi
sesuai dengan kompetensinya4. Menimbang bahwa terorisme merupakan suatu
kejahatan yang bersifat transnasional dan multidimensional, diferensiasi
badan intelijen seharusnya dapat menjadi faktor pendukung dalam
penanganan masalah terorisme. Namun pada kenyatannya lebih sering muncul
ego sektoral masing-masing daripada koordinasi yang baik antar
institusi.
Pasca bom Marriott dan Ritz Carlton, banyak opini yang mewacanakan
peningkatan dana dan kewenangan instansi dan institusi intelijen. Tapi
di sisi lain, banyak juga pihak yang mengatakan bahwa hal tersebut hanya
akan berdampak negatif terhadap kebebasan demokrasi dan perlindungan
HAM. Kembali kita dihadapkan kepada suatu pilihan, dan sebenarnya
semuanya tidak akan bermasalah jika masing-masing pihak dapat
mengaturnya dengan baik. Karena pada hakekatnya menghadapi terorisme
tidak bisa dilakukan sendirian, jadi marilah kita melakukannya
bersama-sama.
—
Referensi:
- JO Sembiring: “Terorisme, Sebuah Pemahaman bagi Masyarakat”.
- http://id.wikipedia.org/wiki/Intelijen.
- Sherman Kent: “Estimate and Influence”, 1969.
- Kusnanto Anggoro: “Operasi dan Koordinasi Instansi Intelijen”, 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar