“Siapapun tanpa kecuali tidak boleh membongkar rahasia negara kita”.
Berhati-hatilah jika Anda menemukan dokumen yang masuk kategori rahasia intelijen. Sekalipun menemukan dokumen itu tanpa sengaja, Anda berpotensi terancam pidana jika membaca dokumen itu. Mencuri atau membocorkan dokumen tersebut jelas melanggar hukum pidana (KUHP). Tetapi kalau hanya membuka lalu membacanya?
Berhati-hatilah jika Anda menemukan dokumen yang masuk kategori rahasia intelijen. Sekalipun menemukan dokumen itu tanpa sengaja, Anda berpotensi terancam pidana jika membaca dokumen itu. Mencuri atau membocorkan dokumen tersebut jelas melanggar hukum pidana (KUHP). Tetapi kalau hanya membuka lalu membacanya?
Kini,
membuka rahasia intelijen pun dianggap sebagai perbuatan yang melanggar
hukum. Pelakunya bisa terancam penjara maksimal 10 tahun, dan denda
maksimal Rp500 juta. Anda tak percaya? Simaklah RUU Intelijen yang sudah
disetujui bersama DPR dan Pemerintah untuk dijadikan Undang-Undang.
Pasal 44 merumuskan setiap orang yang dengan sengaja mencuri, membuka,
dan/atau membocorkan rahasia intelijen sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda
maksimal 500 juta rupiah. Kalau perbuatan “mencuri” dan “membocorkan”
dalam rumusan tadi dihilangkan, maka pasal 44 mengandung makna siapapun
yang membuka rahasia intelijen bisa dipidana.
Pengamat
intelijen, Al Araf, mengkritik rumusan itu. “Arti kata ‘membuka’ itu
kan sangat luas,” ujar peneliti Imparsial ini. Pasal 26 juga menyebut
kata ‘membuka’. Berdasarkan pasal ini, “setiap orang dilarang membuka
dan/atau membocorkan rahasia intelijen”.
Celakanya,
Pasal 26 dan Pasal 44 UU Intelijen tak memberikan penjelasan sama
sekali tentang maksud ‘membuka’ rahasia intelijen. Yang dijelaskan
adalah rahasia intelijen, yakni informasi, benda, personel, dan/atau
upaya, pekerjaan, kegiatan intelijen yang dilindungi kerahasiaannya agar
tidak dapat diakses, tidak dapat diketahui, dan tidak dapat dimiliki
oleh pihak yang tidak berhak.
Komisioner
Komisi Informasi Pusat Ahmad Alamsyah Saragih juga punya catatan
tentang Pasal 44. Seorang komisioner mungkin saja membuka-buka dokumen
rahasia intelijen jika menangani sengketa informasi yang berkaitan
dengan Pasal 17 Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Merujuk pada
rumusan umum Pasal 44 UU Intelijen, seorang komisioner bisa
dikualifisir membuka dokumen rahasia intelijen. Ia khawatir banyak orang
yang dikriminalisasi hanya karena membuka dokumen rahasia intelijen.
Karena
itu, ia mengusulkan tambahan frase baru “dan tanpa hak atau secara
melawan hukum”. Sehingga Pasal 44 UU Intelijen merumuskan ‘setiap orang
yang dengan sengaja dan tanpa hak atau secara melawan hukum …..dan
seterusnya’. Tambahan frase ini bisa menghindari orang yang punya
kewenangan seperti hakim, komisioner, pimpinan DPR untuk membuka dokumen
rahasia intelijen.
Koalisi
Masyarakat Sipil juga sudah mengungkapkan kekhawatiran atas ancaman
pasal-pasal pidana UU Intelijen. Apalagi sanksi pidana penjara dan
dendanya lebih tinggi dari KUHP. Masyarakat sipil bisa saja
dikriminalisasi akibat kebocoran rahasia intelijen. Kalangan pers punya
kekhawatiran serupa.
Namun,
Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar meminta masyarakat tak antipati
terlebih dahulu terhadap UU Intelijen. Materi Undang-Undang ini diyakini
Patrialis bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Al
Araf tak menampik pentingnya Undang-Undang Intelijen. Yang
dikhawatirkan adalah ekses dari rumusan yang terlalu ‘karet’ dan tak
jelas. Kalau semua orang bisa terseret ancaman pidana membuka rahasia
intelijen, itu akan kontraproduktif bagi masyarakat.
Patrialis
bersikukuh tak ada kelompok masyarakat yang istimewa. Membocorkan
rahasia negara adalah perbuatan pidana. “Siapapun tanpa kecuali tidak
boleh membongkar rahasia negara kita,” tegas sang Menteri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar