PetaPolitik.Com – Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen Negara
yang telah disahkan oleh DPR Selasa (11/10) menjadi Undang-undang terus
menuai kontroversi. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai
materi yang terdapat dalam UU Intelijen Negara dapat mengancam perlindungan hak
asasi manusia dan kebebasan sipil warga negara.
Untuk itu ELSAM bersama-sama dengan Koalisi Masyarakat Sipil yang
terdiri 23 LSM pegiat hukum dan HAM berencana akan mengajukan judicial review
ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menanggapi hal itu itu Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutanto
meminta masyarakat untuk tidak terlalu khawatir dengan disahkannya UU Intelijen
Negara ini. Ia menambahkan bahwa materi-materi yang ada di dalam UU Intelijen
Negara justru bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat. Sutanto juga
menjanjikan BIN akan selalu memperhatikan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi
manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Lebih lanjut Sutanto menjelaskan bahwa dalam UU Intelijen ini
memang ada penguatan fungsi intelijen, tapi tetap dalam batas rambu-rambu
tertentu. Pembahasannya juga telah melewati proses yang cermat, hati-hati dan
telah mengakomodasi masukan dari para pakar, akademisi, dan seluruh elemen
masyarakat. Begitupun, dia mempersilakan masyarakat yang tidak puas terhadap UU
ini untuk mengajukan uji materi ke MK. Hal senada juga disampaikan oleh Wakil
Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin.
Kontroversi dari UU Intelijen Negara sendiri berawal pada sejumlah
pasal yang dianggap bermasalah, antara lain terkait dengan status kelembagaan,
kewenangan penyadapan dan penangkapan, pembentukan lembaga koordinasi intelijen
negara, hingga tidak adanya pengawasan internal. Direktur Eksekutif Imparsial
Poengky Indarti menyoroti setidaknya ada lima permasalahan pokok yang
terkandung di dalam materi UU Intelijen Negara.
Pertama,
RUU Intelijen tidak mengatur secara rinci tentang kategori rahasia intelijen
yang menjadi bagian dari rahasia negara (Pasal 25 – Pasal 26 jo Pasal44 – Pasal
45). Tidak adanya kategori yang rinci tentang rahasia intelijen yang menjadi
rahasia negara berpotensi untuk ditafsirkan secara luas dan sepihak oleh pihak
penguasa dan mengancam kebebasan nformasi dan kebebasan pers.
Kedua,
adalah istilah dan wewenang ’penggalian informasi’ dalam pasal 31 sebagai
pengganti dari istilah ’pemeriksaan intensif’ dan ’pendalaman’ di draft RUU
Intelijen sebelumnya. Penggunaan istilah juga bersifat karet dan multitafsir
karena tidak dijelaskan secara rinci di dalam UU tersebut. Selain berbahaya
wewenang ’penggalian informasi’ juga dinilai tidak perlu karena untuk
menjalankan kerja deteksi dini, intelijen telah diberikan fungsi penyelidikan
yang telah diatur dalam Pasal 6 ayat 2.
Ketiga,
adanya pasal yang mengatur bahwa proses pengangkatan Kepala BIN harus mendapatkan
pertimbangan parlemen (pasal 36) telah menempatkan jabatan kepala BIN sebagai
jabatan yang politis, mengingat parlemen adalah lembaga politik. Hal ini akan
membuka ruang terjadinya politisasi pengangkatan kepala BIN oleh parlemen.
Keempat,
pengaturan tentang pengawasan dalam UU Intelijen Negara belum diatur secara
berlapis dan rinci (Pasal 43). Pengawasan publik yang direpresentasikan oleh
komisi-komisi negara seperti Komnas HAM dan Komisi Ombudsman belum diatur
kewenangannya dalam pasal pengawasan ini. Ruang lingkup yang akan diawasi oleh
parlemen kepada BIN juga tidak dirinci dengan jelas.
Kelima,
RUU Intelijen juga belum mengatur mengenai mekanisme komplain oleh agen
intelijen kepada komisi intelijen parlemen secara tertutup apabila terdapat
perintah dari atasan kepada agen intelijen yang secara nyata perintah itu
bertentangan dengan HAM dan melawan hukum. Pengaturan mekanisme komplain ini
menjadi penting untuk meminimalisasi terjadinya penyimpangan yang dilakukan
oleh intelijen.
Jika ditarik garis merah, berbagai reaksi negatif dan dan
keberatan atas pasal-pasal dalam UU Intelijen Negara itu bermuara pada adanya
keinginan agar aktivitas intelijen tidak hanya efektif, tapi juga demokratis,
dalam artian bahwa aktivitas intelijen harus menjamin hak-hak sipil masyarakat
dan outputnya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Sebagaimana di negara-negara demokratis lainnya, aktivitas
intelijen memang harus diberikan payung hukum, agar jelas tugas, ruang lingkup
dan aturan mainnya. Terlebih lagi karena tantangan dan persoalan keamanan yang
dihadapi Indonesia semakin berat dan kompleks.
Namun payung hukum itu harus didasari atas kontrol sipil yang
efektif atas penyelenggara intelijen negara. Oleh karena itu aspek pengawasan
menjadi syarat mutlak. Dunia intelijen adalah dunia yang bergerak di ruang
gelap. Seketat dan serinci apapun definisi dan pengaturan tugas dan wewenang
intelijen, tak akan ada banyak artinya tanpa disertai oleh mekanisme pengawasan
yang efektif. Harus dibuat kerangka pengawasan yang lebih substantif dan
berlapis-lapis dengan melibatkan lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan
civil society. Hanya dengan itu kita bisa memastikan lembaga intelijen
benar-benar didudukkan sebagai alat negara, dan bukan alat kekuasaan.
Mengutip pendapat Broto Wardoyo (pemerhati studi keamanan dan
terorisme dari UI), Indonesia tidak boleh kembali ke masa intelijen hitam,
tetapi bukan pula berarti harus menjadikan dunia intelijen sebagai sesuatu yang
terang. Biarlah aktivitas intelijen tetap berada di ruang yang gelap, namun
kontrol atas aktivitas intelijen harus dibuat terang-benderang. [dv]
Sumber :
http://www.pasulukanlokagandasasmita.com/uu-intelijen-negara-antara-terang-dan-gelap/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar