Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen usulan Pemerintah masuk ke
DPR. RUU ini mendapat sorotan publik karena mengatur masalah krusial,
kewenangan penangkapan dan penyadapan oleh Badan Intelijen Negara (BIN).
Sejumlah pihak pun mempertanyakan kewenangan ini.
Pemerintah yang menggodok RUU ini bersikeras agar lembaga intelijen memiliki kewenangan penangkapan. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro memberikan alasan mengapa hal ini perlu diatur dalam RUU. "Sekarang ini kami sangat kesulitan sekali misalkan terjadi sesuatu. Bom meledak misalnya, itu kami tidak bisa menangkap sebelum terjadi, karena tidak ada aturan," kata Purnomo Yusgiantoro di Kantor Presiden.
Selama ini, menurut Purnomo, penangkapan terhadap pelaku baru bisa dilakukan ketika peristiwa sudah terjadi. Ini merupakan latar belakang yang menjadi alasan masuknya poin kewenangan penangkapan dalam RUU Intelijen.
Bagaimana dengan penyadapan? Kepala BIN Jenderal (Purn) Sutanto menilai kewenangan penyadapan memang harus melekat pada BIN. Hal ini penting, mengingat penyadapan dilakukan untuk mengantisipasi potensi yang mengganggu keamanan.
"Tentu akan diarahkan kepada mereka yang diperkirakan terlibat tindak-tindak kejahatan tadi. Masyarakat pun tidak perlu khawatir, karena tidak sembarangan. Menyadap juga kan ada sanksinya. Dan sanksinya berat untuk petugas yang melanggar."
Apakah penyadapan yang dilakukan BIN nantinya perlu izin hakim? "Saya kira tidak perlu. Ini bedanya antara polisi dengan intelijen. Kalau polisi kejadian dulu baru dia menyidik pelaku-pelakunya. Intelijen kan mewaspadai giat-giat yang akan terjadi. Jadi belum bisa diketahui orang-orangnya," jelasnya.
Untuk kepentingan persidangan, Sutanto menuturkan, data intelijen akan diserahkan ke kepolisian dengan meminta izin dari hakim. "Jadi semuanya terukur. Dan bila diketahui ada penyimpangan, baru kemudian diserahkan ke proses hukum," ucapnya.
Meski demikian, RUU ini masih akan melalui penggodokan di DPR. Peran politik akan menentukan apakah kewenangan ini bertahan sampai RUU disahkan di Paripurna. Salah satu anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar, Tantowi Yahya, menyatakan aparat intelijen tidak dapat sendirian melakukan penangkapan terhadap pihak yang dicurigai dapat membahayakan negara.
"Penangkapan bukan domain intelijen, karena intelijen sesuai tugas pokok dan fungsinya hanya memberikan informasi dini dalam kaitan terhadap kegiatan-kegiatan yang dianggap bisa membahayakan negara."
Menurutnya, intelijen harus bekerjasama dengan instansi penegak hukum seperti Kepolisian, TNI, Komisi Pemberantasan Korupsi jika ingin melakukan penangkapan. "Dia (intelijen) tidak bisa melakukan penangkapan sendiri, harus bekerjsama dengan siapapun itu. Kalau ranahnya TNI, ya kerjasama dengan TNI. Jadi sebetulnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan," ujar Tantowi.
Sementara Ketua DPP Bidang Politik DPP PDI Perjuangan, Puan Maharani meminta agar DPR dan pemerintah harus membuat undang-undang yang dapat menjadi payung hukum bagi aparat intelijen melaksanakan tugasnya dengan lebih baik tanpa menimbulkan kekhawatiran masyarakat atas cara kerja intelijen di masa mendatang. "Apapun itu, hak asasi manusia tentu harus dihormati, tetapi harus ada juga payung hukum yang menjadi dasar para petugas ini," tambahnya.
***
Pemerintah yang menggodok RUU ini bersikeras agar lembaga intelijen memiliki kewenangan penangkapan. Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro memberikan alasan mengapa hal ini perlu diatur dalam RUU. "Sekarang ini kami sangat kesulitan sekali misalkan terjadi sesuatu. Bom meledak misalnya, itu kami tidak bisa menangkap sebelum terjadi, karena tidak ada aturan," kata Purnomo Yusgiantoro di Kantor Presiden.
Selama ini, menurut Purnomo, penangkapan terhadap pelaku baru bisa dilakukan ketika peristiwa sudah terjadi. Ini merupakan latar belakang yang menjadi alasan masuknya poin kewenangan penangkapan dalam RUU Intelijen.
Bagaimana dengan penyadapan? Kepala BIN Jenderal (Purn) Sutanto menilai kewenangan penyadapan memang harus melekat pada BIN. Hal ini penting, mengingat penyadapan dilakukan untuk mengantisipasi potensi yang mengganggu keamanan.
"Tentu akan diarahkan kepada mereka yang diperkirakan terlibat tindak-tindak kejahatan tadi. Masyarakat pun tidak perlu khawatir, karena tidak sembarangan. Menyadap juga kan ada sanksinya. Dan sanksinya berat untuk petugas yang melanggar."
Apakah penyadapan yang dilakukan BIN nantinya perlu izin hakim? "Saya kira tidak perlu. Ini bedanya antara polisi dengan intelijen. Kalau polisi kejadian dulu baru dia menyidik pelaku-pelakunya. Intelijen kan mewaspadai giat-giat yang akan terjadi. Jadi belum bisa diketahui orang-orangnya," jelasnya.
Untuk kepentingan persidangan, Sutanto menuturkan, data intelijen akan diserahkan ke kepolisian dengan meminta izin dari hakim. "Jadi semuanya terukur. Dan bila diketahui ada penyimpangan, baru kemudian diserahkan ke proses hukum," ucapnya.
Meski demikian, RUU ini masih akan melalui penggodokan di DPR. Peran politik akan menentukan apakah kewenangan ini bertahan sampai RUU disahkan di Paripurna. Salah satu anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar, Tantowi Yahya, menyatakan aparat intelijen tidak dapat sendirian melakukan penangkapan terhadap pihak yang dicurigai dapat membahayakan negara.
"Penangkapan bukan domain intelijen, karena intelijen sesuai tugas pokok dan fungsinya hanya memberikan informasi dini dalam kaitan terhadap kegiatan-kegiatan yang dianggap bisa membahayakan negara."
Menurutnya, intelijen harus bekerjasama dengan instansi penegak hukum seperti Kepolisian, TNI, Komisi Pemberantasan Korupsi jika ingin melakukan penangkapan. "Dia (intelijen) tidak bisa melakukan penangkapan sendiri, harus bekerjsama dengan siapapun itu. Kalau ranahnya TNI, ya kerjasama dengan TNI. Jadi sebetulnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan," ujar Tantowi.
Sementara Ketua DPP Bidang Politik DPP PDI Perjuangan, Puan Maharani meminta agar DPR dan pemerintah harus membuat undang-undang yang dapat menjadi payung hukum bagi aparat intelijen melaksanakan tugasnya dengan lebih baik tanpa menimbulkan kekhawatiran masyarakat atas cara kerja intelijen di masa mendatang. "Apapun itu, hak asasi manusia tentu harus dihormati, tetapi harus ada juga payung hukum yang menjadi dasar para petugas ini," tambahnya.
***
Sejumlah
pihak menyatakan kekhawatiran jika RUU Intelijen disahkan sesuai
keinginan pemerintah dimana mengatur kewenangan penyadapan dan
penangkapan oleh BIN.
Sebelumnya, lembaga swadaya masyarakat Imparsial mengatakan, RUU ini perlu dikritisi. Pasalnya, tidak mustahil hal ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis atau ekonomi kelompok tertentu, bahkan untuk kegiatan memata-matai lawan politik.
"Jangan sampai penyadapan yang dilakukan aparat intelijen itu disalahgunakan. Undang-undang harus mengatur penyadapan hanya boleh dilakukan dengan tujuan mengungkap kejahatan," kata Direktur Program Imparsial, Al Araf.
Menurut Imparsial, penyadapan tetap harus dibatasi. Kegiatan ini harus mendapat persetujuan dari otoritas yang ditentukan dalam undang-undang. Dalam hal ini, lembaga pengadilan atau kejaksaan, bisa menjadi instansi yang berwenang memberikan persetujuan penyadapan.
Sebab, tanpa persetujuan otoritas berwenang, kegiatan penyadapan berpotensi disalahgunakan. Jika penyadapan tidak mendesak, intelijen harus minta otorisasi dari pihak berwenang terlebih dahulu. Tetapi bila mendesak, misalnya untuk mengungkap kejahatan dan pelakunya, intelijen boleh saja menyadap dulu.
"Tapi hasilnya harus dilaporkan kepada pengadilan untuk mendapatkan persetujuan. Otoritas pengadilan itu yang nanti menilai apakah penyadapan itu boleh dilakukan terus atau tidak," kata Al Araf. Agar terpantau, kegiatan penyadapan itupun, sebaiknya harus dilaporkan kepada presiden atau komisi intelijen di parlemen.
Sementara itu, penggiat HAM Usman Hamid menyatakan, "Penangkapan dan penyadapan bisa mendatangkan masalah besar bagi hak asasi manusia."
Menurutnya, sesuai yang tertera dalam RUU Intelijen, penangkapan bisa dilakukan dalam waktu 7 X 24 jam. Bagi mereka yang ditangkap, tidak memiliki hak untuk meminta penasehat hukum atau pengacara mendampingi. "Penangkapan jadi sangat tidak jelas. Di mana ditangkap, ditangkap dalam kasus apa, diperiksa terkait apa," kata dia.
Menurut dia, dalam draf RUU yang diusulkan DPR, tidak ada kewenangan penangkapan. Dalam draft itu, hanya tertulis pemeriksaan yang intensif. Tapi, lanjut dia, belakangan pemerintah memerlukan wewenangan khusus pada intelijen. "Pemerintah minta kewenangan khusus pada intelijen tentang penangkapan dan penyadapan," kata dia.
Usman khawatir kewenangan intelijen ini nantinya disalahgunakan penguasa. "Maka harus diperjelas," kata dia.
Menjawab kekhawatiran ini, mantan Kordinator Kelompok Kerja RUU Intelijen, AS Hikam, penangkapan oleh intelijen tidak dilakukan secara semena-mena.
Sebelumnya, lembaga swadaya masyarakat Imparsial mengatakan, RUU ini perlu dikritisi. Pasalnya, tidak mustahil hal ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis atau ekonomi kelompok tertentu, bahkan untuk kegiatan memata-matai lawan politik.
"Jangan sampai penyadapan yang dilakukan aparat intelijen itu disalahgunakan. Undang-undang harus mengatur penyadapan hanya boleh dilakukan dengan tujuan mengungkap kejahatan," kata Direktur Program Imparsial, Al Araf.
Menurut Imparsial, penyadapan tetap harus dibatasi. Kegiatan ini harus mendapat persetujuan dari otoritas yang ditentukan dalam undang-undang. Dalam hal ini, lembaga pengadilan atau kejaksaan, bisa menjadi instansi yang berwenang memberikan persetujuan penyadapan.
Sebab, tanpa persetujuan otoritas berwenang, kegiatan penyadapan berpotensi disalahgunakan. Jika penyadapan tidak mendesak, intelijen harus minta otorisasi dari pihak berwenang terlebih dahulu. Tetapi bila mendesak, misalnya untuk mengungkap kejahatan dan pelakunya, intelijen boleh saja menyadap dulu.
"Tapi hasilnya harus dilaporkan kepada pengadilan untuk mendapatkan persetujuan. Otoritas pengadilan itu yang nanti menilai apakah penyadapan itu boleh dilakukan terus atau tidak," kata Al Araf. Agar terpantau, kegiatan penyadapan itupun, sebaiknya harus dilaporkan kepada presiden atau komisi intelijen di parlemen.
Sementara itu, penggiat HAM Usman Hamid menyatakan, "Penangkapan dan penyadapan bisa mendatangkan masalah besar bagi hak asasi manusia."
Menurutnya, sesuai yang tertera dalam RUU Intelijen, penangkapan bisa dilakukan dalam waktu 7 X 24 jam. Bagi mereka yang ditangkap, tidak memiliki hak untuk meminta penasehat hukum atau pengacara mendampingi. "Penangkapan jadi sangat tidak jelas. Di mana ditangkap, ditangkap dalam kasus apa, diperiksa terkait apa," kata dia.
Menurut dia, dalam draf RUU yang diusulkan DPR, tidak ada kewenangan penangkapan. Dalam draft itu, hanya tertulis pemeriksaan yang intensif. Tapi, lanjut dia, belakangan pemerintah memerlukan wewenangan khusus pada intelijen. "Pemerintah minta kewenangan khusus pada intelijen tentang penangkapan dan penyadapan," kata dia.
Usman khawatir kewenangan intelijen ini nantinya disalahgunakan penguasa. "Maka harus diperjelas," kata dia.
Menjawab kekhawatiran ini, mantan Kordinator Kelompok Kerja RUU Intelijen, AS Hikam, penangkapan oleh intelijen tidak dilakukan secara semena-mena.
Sementara
Menhan Purnomo sendiri menjamin akan ada sanksi berat jika ada kejadian
salah tangkap. "Kalau seorang petugas salah tangkap, beri saja dia
sanksi jelas. Tapi yang kita pikirkan mekanisme waktu itu terjadi,"
ujarnya.
Purnomo juga menjelaskan, penangkapan hanya akan
dilakukan untuk tindakan kriminal tertentu. "Terorisme, subversif, dan
spionase. Serta kegiatan yang menganggu keamanan nasional," ucapnya.
Selanjutnya, kata dia, penangkapan tidak akan dilakukan hanya berdasarkan ada niat dari pelaku, melainkan jika sudah ada rentetan kejadian awal. "Di mana ada data intelijen yang telah diolah, dipelajari, dan baru dilakukan penangkapan, jadi tidak sembarangan."
Selanjutnya, kata dia, penangkapan tidak akan dilakukan hanya berdasarkan ada niat dari pelaku, melainkan jika sudah ada rentetan kejadian awal. "Di mana ada data intelijen yang telah diolah, dipelajari, dan baru dilakukan penangkapan, jadi tidak sembarangan."
Sumber :
http://bola.vivanews.com/news/read/212050-urgensi-penangkapan---penyadapan-bin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar