Ngomong-ngomong soal
intelijen, waktu kecil itulah cita-cita saya. Saya benar-benar sangat
terinspirasi dengan film-film bertemakan intelijen. Sampai sekarang pun saya
masih senang menonton film-film bertemakan intelijen. Tak jarang, saya putar
berkali-kali tanpa bosan. The A-Team dan Born Ultimatum, adalah salah satu film
bertemakan intelijen masa kini yang sangat saya gemari.
Saya benar-benar kagum dengan tokoh-tokoh intelijen yang kalem dan cerdas serta penuh perencanaan. Tindakannya yang sembunyi-sembunyi dan tiba-tiba, terlihat keren di mata saya. Belum lagi, tokoh-tokoh intelijen di film-film digambarkan sebagai sosok yang susah mati dan selalu beruntung di setiap pertarungan.
Saya benar-benar kagum dengan tokoh-tokoh intelijen yang kalem dan cerdas serta penuh perencanaan. Tindakannya yang sembunyi-sembunyi dan tiba-tiba, terlihat keren di mata saya. Belum lagi, tokoh-tokoh intelijen di film-film digambarkan sebagai sosok yang susah mati dan selalu beruntung di setiap pertarungan.
Namun, kenyataannya
tidak seindah itu. Peluru tetap saja tajam dan permainan intelijen, bila tak
hati-hati, bisa sangat mengerikan. Kehidupannya harus selalu tersembunyi dan
berpindah-pindah. Aturannya, “Bila kau tak membunuh, kaulah yang terbunuh”.
Meskipun begitu, ada
satu profesi yang tujuan dan bobotnya sama dengan intelijen dan resiko
terbunuhnya pun sangat kecil, yaitu jurnalis. “Ada kedekatan dan kesamaan
antara media dan intelijen. Keduanya sama-sama berkutat dalam informasi,”
begitu tutur sebuah berita di Pikiran Rakyat Bandung.
Walaupun sama, lanjut
berita di Pikiran Rakyat Bandung, keduanya punya tujuan berbeda. Dalam
intelijen, informasi disampaikan ke pimpinan dan negara serta tertutup.
Sedangkan di media, informasi diungkapkan ke publik. Namun, ketika di lapangan,
keduanya tetap bertukar informasi satu sama lain.
Namun, tetap saja ada
banyak informasi “Berita di Balik Berita” yang jarang sekali diungkapkan ke
publik. Saya memandang, inilah asyiknya jadi wartawan atau pun intelijen,
sama-sama mengetahui informasi penting dan tidak semua orang bisa mengaksesnya.
Sehingga, tak jarang seorang jurnalis bisa mengetahui kejadian yang akan
terjadi.
Hal yang bagi saya
keren, keduanya bisa merubah keadaan sebuah negara, bahkan dunia. Contoh
kasusnya dengan intelijen Amerika, CIA. Dalam kurun waktu 1940 hingga 2000,
sudah lebih dari 10 pemimpin negara yang dikudeta secara sembunyi-sembunyi dan
digantikan dengan pemimpin yang lebih pro-Amerika oleh CIA.
Pun dengan media yang
punya kekuatan merubah politik sebuah negara. Contohnya adalah kasus Watergate
yang berujung mundurnya presiden Amerika Richard Nixon, digawangi oleh 2
wartawan Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein. Kasus seperti ini
ada banyak, mulai dari berskala kecil, hingga berskala nasional.
Jurnalis dan
intelijen, bagi saya sama saja. Sama-sama mengasyikan untuk ditekuni, dan
sama-sama membahayakan bila ada yang tidak sejalan dengan pandangannya.
Berminat mencoba?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar